assalamualaikum..

trimakasih anda berkenan mengunjungi kami..semoga bermanfaat..

Cari Blog Ini

Senin, 31 Mei 2010

MENCUCI TANGAN

PENGENDALIAN INFEKSI

MENCUCI TANGAN

Pengertian
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang diakibatkan dari pemberian pelayanan kesehatan atau terjadi pada fasilitas pelayanan kesehatan. Infeksi ini berhubungan dengan prosedur diagnostik atau terapetik dan sering termasuk memanjangnya waktu tinggal di rumah sakit, sehingga meninggalkan biaya perawatan kesehatan bagi klien dan tenaga pelayanan kesehatan. Sejalan dengan alat bantu untuk pengendalian infeksi ini, perawat harus mengingat bahwa mencuci tangan merupakan teknik yang paling penting dan mendasar dalam mencegah dan mengendalikan infeksi (CDC, 1988). Namun lama ideal untuk mencuci tangan tidak diketahui. Pusat Pengendalian Penyakit (Center Disease Control ) dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat mencatat bahwa waktu mencuci tangan sedikitnya 10 sampai 15 detik akan menghilangkan sebagian besar mikroorganisme transien dari kulit (Garner dan Favero, 1985)

Diagnosa Keperawatan Potensial
• Risiko tinggi terhadap infeksi

Peralatan
• Bak cuci dengan keran air hangat mengalir
• Sabun atau desinfektan dalam dispenser yang dioprasikan dengan kaki (atau sabun batangan)
• Handuk kertas

Langkah – Langkah Rasional
1. Dorong ke atas jam tangan dan lengan baju seragam yang panjang di atas pergelangan tangan anda. Lepaskan perhiasan Memberikan akses lengkap ke jari-jari, tangan dan pergelangan. Cincin meningkatkan jumlah mikroorganisme pada tangan
2. Pertahankan kuku jari anda pendek dan terkikir Kebanyakan mikroba pada tangan berasal dari bawah kuku
3. Perhatikan permukaan tangan anda dan jari-jari terhadap adanya luka goresan atau terpotong pada kulit dan kutikula. Laporkan adanya lesi bila merawat klien dengan kerentanan tinggi luka terbuka dapat menjadi sarang mikroorganisme. Lesi demikian dapat menjadi tempat keluar, meningkatkan pemajanan klien terhadap infeksi atau sebagai jalan masuk, meningkatkan risiko anda mendapat infeksi
4. Berdiri di depan bak cuci, jaga agar tangan dan seragam anda tidak menyentuh permukaan bak cuci (Jika tangan menyentuh bak cuci selama mencuci tangan, ulangi proses mencuci tangan dari awal) Gunakan bak cuci dengan keran yang mudah terjangkau Bagian dalam dari bak cuci merupakan area yang terkontaminasi
5. Alirkan air. Hidupkan keran yang dioprasikan dengan tangan, tutupi bagian atas keran dengan handuk kertas Bila tangan menyentuh keran, tangan dianggap terkontaminasi
6. Hindarkan memercikan air ke seragam anda Mikroorganisme menyebar dan bertumbuh dalam situasi lembab
7. Atur aliran air sehingga suhunya hangat Air hangat lebih nyaman. Air panas membuka pori-pori kulit, menyebabkan iritasi
8. Basahi tangan dan lengan bawah secara menyeluruh di bawah air mengalir. Jaga agar tangan dan lengan bawah lebih rendah siku selama mencuci Tangan merupakan bagian paling terkontaminasi yang harus dicuci. Air menglir dari keran yang paling bersih ke yang paling terkontaminasi
9. Oleskan 1 ml sabun cair biasa atau 3 ml sabun cair antiseptik pada tangan dan buat berbusa. Bila menggunakan sabun batangan, pegang dan gosok sampai berbusa. Dapat juga digunakan sabun berbentuk granula dan preparat liflet Jumlah bakteri berkurang secara signifikan pada tangan bila menggunkan 3 sampai 5 ml sabun antimikrobial
10. Cuci tangan menggunakan banyak bus dan gosokan selama 10 sampai 15 detik. Jalin jari-jari dan gosok telapak dan punggung tangan dengan gerakan memutar Sabun membersihkan dengan mengelmusi lemak dan minyak dan menurunkan tegangan permukaan. Menjalin jari-jari dan ibu jari memastikan bahwa semua permukaan dibersihkan
11. Bila area dibawah jari-jari kotor, bersihkan dengan kuku jari tangan yang laindan tambahkan sabun. Jaga agar kulit di bawah (disekitar) kuku anda tidak luka atau terpotong Pengangkatan kotoran dan sedimen di bawah kuku dengan cara mekanik mengurangi mikroorganisme tangan
12. Bils tangan dan pergelangan tangan secara menyeluruh, jaga agar tangan di bawah dan siku di atas Dengan membilas secara mekanik membersihkan kotoran dan mikroorganisme
13. Keringkan tangan secara menyeluruh, usap dari jari turun ke pergelangan tangan dan lengan bawah










PENGGANTIAN BALUTAN KERING

Balutan kering melindungi luka dengan drainase minimal terhadap kontaminasi mikroorganisme. Balutan dapat hanya berupa bantalan kasa yang tidak melekat ke jaringan luka dan menyebabkan iritasi yang sangat kecil, atau berupa bantalan telfa yang juga tidak melekat pada insisi atau lubang luka tetapi memungkinkan drainase melalui permukaan yang tidak melekat di bawah kasa lembut.

Tindakan ini memerlukan teknik steril.

Diagnosa Keperawatan
• Kerusakan integritas kulit
• Nyeri
• Risiko tinggi terhadap infeksi

Peralatan
a. Set balutan steril atau bahan-bahan sbb:
• Sarung tangan steril
• Set balutan (gunting dan forsep)
• Balutan kasa dan bantalan kasa
• Basin untuk larutan antiseptik atau larutan pembersih
• Salep antiseptik (bila dipesankan)
b. Larutan pembersih yang diresepkan dokter
c. Larutan garam faal atau air
d. Sarung tangan sekali pakai
e. Plester, pengikat, atau balutan sesuai kebutuhan
f. Kantung tahan air untuk sampah
g. Balutan kasa ekstra dan Surgipad atau bantalan ABD
h. Selimut mandi




Langkah-langkah Rasional
1. Jelaskan prosedur pada klien dengan menggambarkan langkah-langkah perawatan luka Menghilangkan ansietas klien dan meningkatkan pemahaman proses penyembuhan
2. Susun semua peralatan yang diperlukan di meja tempat tidur (jangan membuka peralatan) Mencegah timbulnya ketidaksterilan akibat kelalaian dan tak sengaja.
3. Ambil kantung sekali pakai dan buat lipatan di atasnya, letakkan kantung pada jangkauan area kerja anda Mencegah kontaminasi tak disengaja pada bagian atas luar permukaan kantung. Jangan menyeberangi area steril untuk membuang balutan kotor.
4. Tutup ruangan atau tirai tempat tidur Memberikan privasi
5. Bantu klien mencapai posisi yang nyaman, berikan selimut mandi,yang terpajan hanya area yang akan kita lakukan pengobatan. Instruksikan klien untuk tidak menyentuh area lua atau peralatan steril. Gerakan tiba-tiba dari klien selama penggantian balutan dapat menyebabkan kontaminasi pada luka atau peralatan.
6. Cuci tangan secara menyeluruh Menghilangkan mikroorganisme yang tinggal dipermukaan kulit dan mengurangi transmisi patogen pada jaringan yang terpajan
7. Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester, ikatan atau balutan Sarung tangan mencegah transmisi organisme dari balutan kotor pada tangan anda
8. Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan, sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan. (Bila masih terdapat plester di kulit dapat dibersihkan dengan aseton) Mengurangi tegangan pada jahitan atau tepi luk
9. Dengan sarung tangan atau forsep, angkat balutan, pertahankan permukaan kotor jauh dari penglihatan klien.
10. Catatan : bila terdapat drain, angkat satu balutan setiap kali. Penampilan drainase dapat mengganggu klien secara emosional. Pengangkatan balutan dengan hati-hati balutan mencegah penarikan tak disengaja pada drain.
11. Bila balutan lengket pada luka, lepaskan dengan memberikan larutan steril atau air Mencegah kerusakan permukaan epidermal
12. Observasi karakter dan jumlah drainase pada balutan Memberikan perkiraan hilangnya drainase dan pengkajian kondisi luka
13. Buang balutan kotor pada kantung sampah, hindari kontaminasi permukaan luar kantung. Lepaskan sarung tangan dengan menarik bagian dalam keluar, buang di tempat yang tepat. Prosedur mengurangi transmisi mikroorganisme untuk orang lan.
14. Buka nampan balutan steril atau secara individual tertutup bahan steril. Tempatkan pada meja tempat tidur atau di samping klien. Balutan, gunting dan forsep harus tetap pada nampan steril atau dapat ditempatka pada penutup steril yang terbuka digunaka sebagai area steril. Buka botol atau bungkusan larutan antiseptik dan tuangkan ke dalam basin steril atau di atas kasa steril Balutan steril dan perapatan tetap steril saat atau dalam permukaan steril. Persiapan semua bahan mencegah merusak teknik selama mengganti balutan
15. Bila penutup atau kemasan kasa steril menjadi basah akibat larutan antisepti, ulangi persiapan bahan Cairan bergerak melalui bahan dengan aksi kapiler. Mikroorganisme menjalar dari lingkungan tidak steril di atas meja menembus kemasan balutan.
16. Kenakan sarung tangan steril Memungkinkan anda memegang balutan steril, instrumen dan larutan tanpa menyebabkan kontaminasi
17. Inspeksi luka, perhatikan kondisinya, letak drain, integritas jahitan atau penutupan kulit dan karakter drainase (Palpasi luka bila perlu dengan bagian tangan non-dominan yang tidak akan menyentuh bahan steril) Menentukan status penyembuhan luka. (kontak dengan permukaan kulit atau drainase mengkontaminasi sarung tangan).
18. Bersihkan luka dengan larutan antiseptik yang diresepkan atau dengan garam faal. Pegang kasa yang dibasahi dalam larutan dengan forsep. Gunakan kasa terpisah untuk setiap usapan membersihkan. Bersihkan dari area yang kurang terkontaminasi ke area terkontaminasi. Gerakan dalam tekanan progresif menjadi dari insisi atau tepi luka Penggunaan forsep mencegah kontaminasi jari yang memakai sarung tangan. Arah tekanan pembersihan mencegah introduksi organisme ke dalam luka.
19. Gunakan kasa baru untuk mengeringkan luka atau insisi. Usap dengan cara seperti no 17 Mengurangi kelembaban pada tempat luka, yang akhirnya dapat menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme
20. Berikan salep antiseptik bila dipesankan, gunakan teknik seperti pada teknik pembersihan. Jangan dioleskan di atas tempat drainase. Pengolesan yang diarahkan langsung pada balutan atau drainase dapat menghambat drainase.
21. Pasang balutan steril kering pada insisi atau letak luka
22. Pasang satu balutan setiap kali Mencegah pemasangan balutan besar yang dapat mengganggu gerakan klien dan memastikan lukat seluruhnya tertutup.
23. Pasang kasa jarang (4 x 4) atau Telfa sebagai lapisan kontak Meningkatkan absorbsi tepat terhadap drainase
24. Bila terpasang drain, ambil gunting dan potong kasa 4 x 4 kotak untuk dipaskan disekitarnya. Balutan sekitar drain mengamankan letak drain dan mengabsorbsi drainase
25. Pasang kasa lapisan kedua sebagai lapisan absorben Melindungi luka dari masuknya mikroorganisme
26. Pasang surgipad yang lebih tebal atau bantalan ABD (garis biru di tengah menandakan permukaan luar)
27. Gunakan plester di atas balutan atau amankan dengan ikatan montgomery, balutan atau pengikat Memberikan dukungan pada luka dan menjamin penutupan lengkap dengan pemajanan minimal pada mikroorganisme
28. Lepaskan sarung tangan dan buang pada tempat yang telah disediakan Mengurangi transmisi mikroorganisme
29. Buang semua bahan dan bantu klien kembali pada posisi nyaman Lingkungan yang bersih meningkatkan kenyamanan klien
30. Cuci tangan Mengurangi transmisi mikroorganisme
31. Catat pada lembar kerja observasi luka, balutan dan drainase Dokumentasi yang akurat dan tepat saat memberitahukan personel adanya perubahan pada kondisi luka dan status klien

gangren

Penyandang diabetes mellitus perlu memberikan perhatian lebih terhadap kesehatan kakinya, karena diabetes dapat menimbulkan komplikasi yang dikenal dengan istilah kaki diabetik (diabetic foot). Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi diabetes yang masih luput dari perhatian. Padahal, konsekuensi dari kaki diabetik yang terlanjur memburuk dapat menyebabkan gangren dan mengarah pada tindakan amputasi.

Kaki diabetik merupakan komplikasi yang serius dan mahal dari diabetes. Meningkatnya prevalensi diabetes di dunia menyebabkan peningkatan kasus amputasi kaki karena komplikasi diabetes. Studi epidemiologi melaporkan lebih dari satu juta amputasi dilakukan pada penyandang diabetes setiap tahunnya. Ini berarti setiap 30 detik ada kasus amputasi kaki karena diabetes di seluruh dunia.

Umumnya kaki diabetik didahului dengan adanya ulkus (luka). Hanya sekitar dua pertiga dari ulkus yang dapat sembuh dengan cepat, sisanya berakhir dengan amputasi. Rata-rata diperlukan waktu sekitar enam bulan untuk penyembuhan ulkus. Baik ulkus maupun amputasi memiliki dampak yang besar pada kualitas hidup penyandang diabetes, yakni terbatasnya kebebasan bergerak, terisolasi secara sosial, dan menimbulkan stres psikologis.

Kaki diabetik juga merupakan masalah ekonomi yang nyata, mengingat penyandang diabetes dengan kaki diabetik umumnya membutuhkan perawatan yang lama, rehabilitasi, biaya yang tidak sedikit, dan risiko amputasi yang besar.

Menurut Dr. dr. Aris Wibudi, SpPD selaku Ketua Umum PB PEDI (Perhimpunan Edukator Diabetes Indonsia), komplikasi kaki diabetik sebenarnya dapat dicegah. Dengan menerapkan strategi yang menggabungkan upaya pencegahan, perawatan jika terjadi ulkus pada kaki, penanganan medis yang sesuai, kadar gula darah yang terkendali, serta edukasi terhadap penyandang diabetes dan tenaga medis, dapat menurunkan kemungkinan risiko amputasi sampai 85%.

Masalah Kaki pada Penyandang Diabetes
Setiap orang dapat mengalami masalah pada kaki seperti di bawah ini. Namun bagi penyandang diabetes dengan kadar gula darah yang tidak terkendali, masalah kaki ini dapat mengarah kepada terjadinya infeksi dan konsekuensi yang lebih serius seperti amputasi.
Kalus
Merupakan penebalan kulit yang umumnya terjadi di telapak kaki. Kalus disebabkan gesekan atau tekanan berulang pada daerah yang sama, distribusi berat tubuh yang tidak seimbang, sepatu yang tidak sesuai, atau kelainan kulit. Kalus dapat menjadi berkembang menjadi infeksi.

Kulit melepuh
Dapat terjadi jika sepatu selalu menggesek kaki pada daerah yang sama. Disebabkan penggunaan sepatu yang kurang pas atau tanpa kaus kaki. Kulit melepuh dapat berkembang menjadi infeksi. Hal penting untuk menangani kulit melepuh adalah dengan tidak meletuskannya, karena kulit melindungi lepuhan dari infeksi.

Kuku kaki yang tumbuh ke dalam
Terjadi ketika ujung kuku tumbuh ke dalam kulit dan menimbulkan tekanan yang dapat merobek kulit sehingga kulit menjadi kemerahan dan terinfeksi. Kuku kaki yang tumbuh ke dalam dapat terjadi jika anda memotong kuku sampai ke ujungnya, dapat pula disebabkan pemakaian sepatu yang terlalu ketat atau trauma kaki karena aktivitas seperti berlari dan aerobik. Jika ujung kuku kaki anda kasar, gunakan kikir untuk meratakannya.

Pembengkakan ibu jari kaki
Terjadi jika ibu jari kaki condong ke arah jari di sebelahnya sehingga menimbulkan kemerahan, rasa sakit, dan infeksi. Dapat terjadi pada salah satu atau kedua kaki karena penggunaan sepatu berhak tinggi dan ujung yang sempit. Pembengkakan yang menimbulkan rasa sakit dan deformitas (perubahan bentuk) kaki dapat diatasi dengan pembedahan.

Plantar warts
Kutil terlihat seperti kalus dengan titik hitam kecil di pusatnya. Dapat berkembang sendiri atau berkelompok. Timbulnya kutil disebabkan oleh virus yang menginfeksi lapisan luar telapak kaki.

Jari kaki bengkok
Terjadi ketika otot kaki menjadi lemah. Kerusakan saraf karena diabetes dapat menyebabkan kelemahan ini. Otot yang lemah dapat menyebabkan tendon (jaringan yang menghubungkan otot dan tulang) di kaki memendek sehingga jari kaki menjadi bengkok. Akan menimbulkan masalah dalam berjalan dan kesulitan menemukan sepatu yang tepat. Dapat juga disebabkan pemakaian sepatu yang terlalu pendek.

Kulit kaki kering dan pecah
Dapat terjadi karena saraf pada kaki tidak mendapatkan pesan dari otak (karena neuropati diabetik) untuk berkeringat yang akan menjaga kulit tetap lembut dan lembab. Kulit yang kering dapat pecah. Adanya pecahan pada kulit dapat membuat kuman masuk dan menyebabkan infeksi. Dengan gula darah anda yang tinggi, kuman akan mendapatkan makanan untuk berkembang sehingga memperburuk infeksi.

Athlete's foot (kaki atlet)
Disebabkan jamur yang menimbulkan rasa gatal, kemerahan, dan pecahnya kulit. Pecahnya kulit di antara jari kaki memungkinkan kuman masuk ke dalam kulit dan menimbulkan infeksi. Infeksi dapat meluas sampai ke kuku kaki sehingga membuatnya tebal, kekuningan, dan sulit dipotong.
Konsultasikan dengan dokter anda jika anda menemukan masalah apapun dengan kaki anda. Sepatu yang di desain khusus dapat dibuat untuk memenuhi kebutuhan sekaligus melindungi kaki anda. Kelainan pada kaki yang segera diatasi dapat mencegah terjadinya ulkus, sehingga kemungkinan komplikasi kaki diabetik dapat dihindari.

Penyebab Kaki Diabetik
Terjadinya kaki diabetik tidak terlepas dari tingginya kadar gula (glukosa) darah pada penyandang diabetes. Tingginya kadar gula darah yang berkelanjutan dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan masalah pada kaki penyandang diabetes, yakni:
Kerusakan saraf
Masalah pertama yang timbul adalah kerusakan saraf di tangan dan kaki. Saraf yang telah rusak membuat penyandang diabetes tidak dapat merasakan sensasi sakit, panas, atau dingin pada tangan dan kaki. Luka pada kaki dapat menjadi buruk karena penyandang diabetes tidak menyadari adanya luka tersebut. Hilangnya sensasi rasa ini disebabkan kerusakan saraf yang disebut sebagai neuropati diabetik. Neuropati diabetik terjadi pada lebih dari 50% penyandang diabetes. Gejala yang umum terjadi adalah rasa kebas (baal) dan kelemahan pada kaki dan tangan.

Gangguan pembuluh darah
Masalah kedua adalah terjadinya gangguan pada pembuluh darah, sehingga menyebabkan tidak cukupnya aliran darah ke kaki dan tangan. Aliran darah yang buruk ini akan menyebabkan luka dan infeksi sukar sembuh. Ini disebut penyakit pembuluh darah perifer (pembuluh darah tepi) yang umum menyerang kaki dan tangan. Penyandang diabetes yang merokok akan semakin memperburuk aliran darahnya.
Kedua masalah di atas dapat menyebabkan terjadinya kaki diabetik. Ditambah lagi dengan rentannya penyandang diabetes terhadap risiko infeksi karena daya tahan tubuh yang menurun, akan semakin memperbesar risiko mengalami komplikasi kaki diabetik.

Sebagai gambaran, misalnya kaki anda terluka karena penggunaan sepatu yang sempit. Anda tidak menyadari dan tidak merasakan sakit karena adanya kerusakan saraf pada kaki anda. Selanjutnya, luka yang awalnya kecil itu akan terinfeksi. Pada penyandang diabetes, kadar gula dalam darah yang tinggi merupakan makanan bagi kuman. Kuman kemudian berkembang biak dan menyebabkan infeksi bertambah buruk. Hal ini diperparah dengan aliran darah kaki yang buruk sehingga memperlambat proses penyembuhan luka.

Infeksi yang tidak ditangani dengan segera dapat menyebabkan gangren. Pada gangren, kulit dan jaringan di sekitar luka tersebut akan mati (nekrotik), sehingga daerah di sekitar luka tersebut akan berwarna kehitaman dan menimbulkan bau. Untuk mencegah gangren meluas, dokter dapat mengambil tindakan operasi untuk memotong jari kaki atau bagian dari kaki yang terinfeksi. Pemotongan bagian tubuh ini dikenal dengan istilah amputasi. Diabetes merupakan penyebab umum non-traumatik kasus amputasi kaki.

Pencegahan Kaki Diabetik
Berikut beberapa kiat perawatan kaki untuk mencegah komplikasi kaki diabetik pada penyandang diabetes:
Periksa kedua kaki setiap hari. Apakah ada bisul, perubahan warna atau perasaaan yang berbeda. Bila perlu minta batuan orang lain atau gunakan cermin untuk melihatnya.
Cuci kaki setiap hari. Gunakanlah air sabun hangat (jangan panas), lalu keringkan kedua kaki dengan seksama.
Kuku kaki dipotong rata, kikirlah ujung-ujungnya yang kasar.
Jangan menggunakan obat penghilang kutil, atau memotong sendiri mata ikan atau kapalan pada kaki anda. Sebaiknya pergilah ke dokter umum atau dokter ahli perawatan kaki (podiatris).
Kenakan sepatu yang lembut dan nyaman. Setiap hari periksa bagian dalam sepatu, kalau-kalau ada potongan atau sudut tajam yang bisa melukai. Jangan berjalan pada lantai atau jalan yang kasar dengan kaki telanjang.
Hindari celana ketat atau mengenakan sesuatu yang ketat di pergelangan kaki.
Hentikan merokok yang dapat memperparah peredaran darah yang buruk ke kaki.
Upaya pencegahan bagi penyandang diabetes yang belum mengalami komplikasi kaki diabetik dapat dilakukan dengan cara mengendalikan kadar gula darah selalu mendekati nilai normal. Hal ini karena komplikasi diabetes dapat dicegah, ditunda, atau diperlambat dengan mengendalikan kadar gula darah.

Ada empat hal utama yang dapat anda lakukan untuk mengendalikan kadar gula darah, yaitu:
Pengaturan makan/diet dengan penekanan pada pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan.
Olahraga/aktivitas fisik secara teratur yakni 3-5 kali seminggu selama 30-60 menit.
Pengobatan yang sesuai petunjuk dokter bila gula darah tidak dapat dikendalikan dengan pengaturan pola makan dan latihan fisik.
Evaluasi kesehatan dengan melakukan evaluasi medis secara lengkap meliputi pemeriksaan fisik, riwayat penyakit, dan pemeriksaan laboratorium.
Sementara bagi penyandang diabetes yang telah terlanjur mengalami komplikasi kaki diabetik, tetap harus mengendalikan kadar gula darah dan ditambah dengan perawatan kaki yang baik. Jika terjadi luka, harus ditangani segera oleh tenaga medis. Dokter akan memberikan antibiotik jika luka anda telah mengalami infeksi. Jangan merawat sendiri luka anda, karena jika terjadi salah penanganan dapat menyebabkan luka meluas dan infeksi menyebar sehingga dapat menimbulkan gangren (pembusukan) yang selanjutnya perlu dilakukan amputasi.

Edukasi terhadap penyandang diabetes mutlak diperlukan agar tumbuh kesadaran untuk memeriksa kaki setiap hari sehingga setiap bentuk kelainan kaki dapat segera teridentifikasi sebelum menimbulkan luka. Tekanan dan gesekan terus-menerus yang dialami kaki suatu saat akan menimbulkan luka. Jika hal ini terus berlangsung dan tidak disadari oleh penyandang diabetes, maka luka akan semakin dalam dan meluas.

Hal terpenting yang perlu diperhatikan setiap penyandang diabetes adalah mencegah terjadinya luka pada kaki, sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi kaki diabetik dapat dicegah. Pada akhirnya, kemungkinan infeksi yang meluas sampai berkembang menjadi gangren dan risiko amputasi dapat dihindari. Jangan sampai diabetes mencuri kaki anda!

Sabtu, 29 Mei 2010

MENINGITIS

Penyakit Meningitis
Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meninges, yaitu membrane atau selaput yang melapisi otak dan syaraf tunjang. Meningitis dapat disebabkan berbagai organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak.

Pasien yang diduga mengalami Meningitis haruslah dilakukan suatu pemeriksaan yang akurat, baik itu disebabkan virus, bakteri ataupun jamur. Hal ini diperlukan untuk spesifikasi pengobatannya, karena masing-masing akan mendapatkan therapy sesuai penyebabnya.
Penyebab Penyakit Meningitis
Meningitis yang disebabkan oleh virus umumnya tidak berbahaya, akan pulih tanpa pengobatan dan perawatan yang spesifik. Namun Meningitis disebabkan oleh bakteri bisa mengakibatkan kondisi serius, misalnya kerusakan otak, hilangnya pendengaran, kurangnya kemampuan belajar, bahkan bisa menyebabkan kematian. Sedangkan Meningitis disebabkan oleh jamur sangat jarang, jenis ini umumnya diderita orang yang mengalami kerusakan immun (daya tahan tubuh) seperti pada penderita AIDS.

Bakteri yang dapat mengakibatkan serangan meningitis diantaranya :
1. Streptococcus pneumoniae (pneumococcus).
Bakteri ini yang paling umum menyebabkan meningitis pada bayi ataupun anak-anak. Jenis bakteri ini juga yang bisa menyebabkan infeksi pneumonia, telinga dan rongga hidung (sinus).

2. Neisseria meningitidis (meningococcus).
Bakteri ini merupakan penyebab kedua terbanyak setelah Streptococcus pneumoniae, Meningitis terjadi akibat adanya infeksi pada saluran nafas bagian atas yang kemudian bakterinya masuk kedalam peredaran darah.

3. Haemophilus influenzae (haemophilus).
Haemophilus influenzae type b (Hib) adalah jenis bakteri yang juga dapat menyebabkan meningitis. Jenis virus ini sebagai penyebabnya infeksi pernafasan bagian atas, telinga bagian dalam dan sinusitis. Pemberian vaksin (Hib vaccine) telah membuktikan terjadinya angka penurunan pada kasus meningitis yang disebabkan bakteri jenis ini.

4. Listeria monocytogenes (listeria).
Ini merupakan salah satu jenis bakteri yang juga bisa menyebabkan meningitis. Bakteri ini dapat ditemukan dibanyak tempat, dalam debu dan dalam makanan yang terkontaminasi. Makanan ini biasanya yang berjenis keju, hot dog dan daging sandwich yang mana bakteri ini berasal dari hewan lokal (peliharaan).

5. Bakteri lainnya yang juga dapat menyebabkan meningitis adalah Staphylococcus aureus dan Mycobacterium tuberculosis.

Tanda dan Gejala Penyakit Meningitis
Gejala yang khas dan umum ditampakkan oleh penderita meningitis diatas umur 2 tahun adalah demam, sakit kepala dan kekakuan otot leher yang berlangsung berjam-jam atau dirasakan sampai 2 hari. Tanda dan gejala lainnya adalah photophobia (takut/menghindari sorotan cahaya terang), phonophobia (takut/terganggu dengan suara yang keras), mual, muntah, sering tampak kebingungan, kesusahan untuk bangun dari tidur, bahkan tak sadarkan diri.

Pada bayi gejala dan tanda penyakit meningitis mungkin sangatlah sulit diketahui, namun umumnya bayi akan tampak lemah dan pendiam (tidak aktif), gemetaran, muntah dan enggan menyusui.

Penanganan dan Pengobatan Penyakit Meningitis
Apabila ada tanda-tanda dan gejala seperti di atas, maka secepatnya penderita dibawa kerumah sakit untuk mendapatkan pelayan kesehatan yang intensif. Pemeriksaan fisik, pemeriksaan labratorium yang meliputi test darah (elektrolite, fungsi hati dan ginjal, serta darah lengkap), dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru akan membantu tim dokter dalam mendiagnosa penyakit. Sedangkan pemeriksaan yang sangat penting apabila penderita telah diduga meningitis adalah pemeriksaan Lumbar puncture (pemeriksaan cairan selaput otak).

Jika berdasarkan pemeriksaan penderita didiagnosa sebagai meningitis, maka pemberian antibiotik secara Infus (intravenous) adalah langkah yang baik untuk menjamin kesembuhan serta mengurang atau menghindari resiko komplikasi. Antibiotik yang diberikan kepada penderita tergantung dari jenis bakteri yang ditemukan.

Adapun beberapa antibiotik yang sering diresepkan oleh dokter pada kasus meningitis yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis antara lain Cephalosporin (ceftriaxone atau cefotaxime). Sedangkan meningitis yang disebabkan oleh bakteri Listeria monocytogenes akan diberikan Ampicillin, Vancomycin dan Carbapenem (meropenem), Chloramphenicol atau Ceftriaxone.

Treatment atau therapy lainnya adalah yang mengarah kepada gejala yang timbul, misalnya sakit kepala dan demam (paracetamol), shock dan kejang (diazepam) dan lain sebagainya.

Pencegahan Tertularnya Penyakit Meningitis
Meningitis yang disebabkan oleh virus dapat ditularkan melalui batuk, bersin, ciuman, sharing makan 1 sendok, pemakaian sikat gigi bersama dan merokok bergantian dalam satu batangnya. Maka bagi anda yang mengetahui rekan atau disekeliling ada yang mengalami meningitis jenis ini haruslah berhati-hati. Mancuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah ketoilet umum, memegang hewan peliharaan. Menjaga stamina (daya tahan) tubuh dengan makan bergizi dan berolahraga yang teratur adalah sangat baik menghindari berbagai macam penyakit.

Pemberian Imunisasi vaksin (vaccine) Meningitis merupakan tindakan yang tepat terutama didaerah yang diketahui rentan terkena wabah meningitis, adapun vaccine yang telah dikenal sebagai pencegahan terhadap meningitis diantaranya adalah ;
- Haemophilus influenzae type b (Hib)
- Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7)
- Pneumococcal polysaccharide vaccine (PPV)
- Meningococcal conjugate vaccine (MCV4)

Baca Selengkapnya...
diposkan oleh khomsah pada 04:25 | 2 Komentar
Penyakit Kolera (Cholera)
Penyakit kolera (cholera) adalah penyakit infeksi saluran usus bersifat akut yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae, bakteri ini masuk kedalam tubuh seseorang melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Bakteri tersebut mengeluarkan enterotoksin (racunnya) pada saluran usus sehingga terjadilah diare (diarrhoea) disertai muntah yang akut dan hebat, akibatnya seseorang dalam waktu hanya beberapa hari kehilangan banyak cairan tubuh dan masuk pada kondisi dehidrasi.
Penyebaran Penularan Penyakit Kolera
Kolera dapat menyebar sebagai penyakit yang endemik, epidemik, atau pandemik. Meskipun sudah banyak penelitian bersekala besar dilakukan, namun kondisi penyakit ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kedokteran modern. Bakteri Vibrio cholerae berkembang biak dan menyebar melalui feaces (kotoran) manusia, bila kotoran yang mengandung bakteri ini mengkontaminasi air sungai dan sebagainya maka orang lain yang terjadi kontak dengan air tersebut beresiko terkena penyakit kolera itu juga.

Misalnya cuci tangan yang tidak bersih lalu makan, mencuci sayuran atau makanan dengan air yang mengandung bakteri kolera, makan ikan yang hidup di air terkontaminasi bakteri kolera, Bahkan air tersebut (seperti disungai) dijadikan air minum oleh orang lain yang bermukim disekitarnya.

Gejala dan Tanda Penyakit Kolera
Pada orang yang feacesnya ditemukan bakteri kolera mungkin selama 1-2 minggu belum merasakan keluhan berarti, Tetapi saat terjadinya serangan infeksi maka tiba-tiba terjadi diare dan muntah dengan kondisi cukup serius sebagai serangan akut yang menyebabkan samarnya jenis diare yg dialami.

Akan tetapi pada penderita penyakit kolera ada beberapa hal tanda dan gejala yang ditampakkan, antara lain ialah :
- Diare yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas atau tenesmus.
- Feaces atau kotoran (tinja) yang semula berwarna dan berbau berubah menjadi cairan putih keruh (seperti air cucian beras) tanpa bau busuk ataupun amis, tetapi seperti manis yang menusuk.
- Feaces (cairan) yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan gumpalan-gumpalan putih.
- Diare terjadi berkali-kali dan dalam jumlah yang cukup banyak.
- Terjadinya muntah setelah didahului dengan diare yang terjadi, penderita tidaklah merasakan mual sebelumnya.
- Kejang otot perut bisa juga dirasakan dengan disertai nyeri yang hebat.
- Banyaknya cairan yang keluar akan menyebabkan terjadinya dehidrasi dengan tanda-tandanya seperti ; detak jantung cepat, mulut kering, lemah fisik, mata cekung, hypotensi dan lain-lain yang bila tidak segera mendapatkan penangan pengganti cairan tubuh yang hilang dapat mengakibatkan kematian.

Penanganan dan Pengobatan Penyakit Kolera
Penderita yang mengalami penyakit kolera harus segera mandapatkan penaganan segera, yaitu dengan memberikan pengganti cairan tubuh yang hilang sebagai langkah awal. Pemberian cairan dengan cara Infus/Drip adalah yang paling tepat bagi penderita yang banyak kehilangan cairan baik melalui diare atau muntah. Selanjutnya adalah pengobatan terhadap infeksi yang terjadi, yaitu dengan pemberian antibiotik/antimikrobial seperti Tetrasiklin, Doxycycline atau golongan Vibramicyn. Pengobatan antibiotik ini dalam waktu 48 jam dapat menghentikan diare yang terjadi.

Pada kondisi tertentu, terutama diwilayah yang terserang wabah penyakit kolera pemberian makanan/cairan dilakukan dengan jalan memasukkan selang dari hidung ke lambung (sonde). Sebanyak 50% kasus kolera yang tergolang berat tidak dapat diatasi (meninggal dunia), sedangkan sejumlah 1% penderita kolera yang mendapat penanganan kurang adekuat meninggal dunia. (massachusetts medical society, 2007 : Getting Serious about Cholera).

Pencegahan Penyakit kolera
Cara pencegahan dan memutuskan tali penularan penyakit kolera adalah dengan prinsip sanitasi lingkungan, terutama kebersihan air dan pembuangan kotoran (feaces) pada tempatnya yang memenuhi standar lingkungan. Lainnya ialah meminum air yang sudah dimasak terlebih dahulu, cuci tangan dengan bersih sebelum makan memakai sabun/antiseptik, cuci sayuran dangan air bersih terutama sayuran yang dimakan mentah (lalapan), hindari memakan ikan dan kerang yang dimasak setengah matang.

Bila dalam anggota keluarga ada yang terkena kolera, sebaiknya diisolasi dan secepatnya mendapatkan pengobatan. Benda yang tercemar muntahan atau tinja penderita harus di sterilisasi, searangga lalat (vektor) penular lainnya segera diberantas. Pemberian vaksinasi kolera dapat melindungi orang yang kontak langsung dengan penderita.

Baca Selengkapnya...
diposkan oleh khomsah pada 01:42 | 0 Komentar
Penyakit Cacar (Herpes)
Penyakit Cacar atau yang disebut sebagai 'Herpes' oleh kalangan medis adalah penyakit radang kulit yang ditandai dengan pembentukan gelembung-gelembung berisi air secara berkelompok. Penyakit Cacar atau Herpes ini ada 2 macam golongan, Herpes Genetalis dan Herpes Zoster.
Cara Penularan Penyakit Cacar (Herpes)
Secara umum, seluruh jenis penyakit herpes dapat menular melalui kontak langsung. Namun pada herpes zoster, seperti yang terjadi pada penyakit cacar (chickenpox), proses penularan bisa melalui bersin, batuk, pakaian yang tercemar dan sentuhan ke atas gelembung/lepuh yang pecah. Pada penyakit Herpes Genitalis (genetalia), penularan terjadi melalui prilaku sex. Sehingga penyakit Herpes genetalis ini kadang diderita dibagian mulut akibat oral sex. Gejalanya akan timbul dalam masa 7-21 hari setelah seseorang mengalami kontak (terserang) virus varicella-zoster.

Seseorang yang pernah mengalami cacar air dan kemudian sembuh, sebenarnya virus tidak 100% hilang dari dalam tubuhnya, melainkan bersembunyi di dalam sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris penderita. Ketika daya tahan tubuh (Immun) melemah, virus akan kembali menyerang dalam bentuk Herpes zoster dimana gejala yang ditimbulkan sama dengan penyakit cacar air (chickenpox). Bagi seseorang yang belum pernah mengalami cacar air, apabila terserang virus varicella-zoster maka tidak langsung mengalami penyakit herpes zoster akan tetapi mengalami cacar air terlebih dahulu.

Tanda dan Gejala Penyakit Cacar (Herpes)
Tanda dan gejala yang timbul akibat serangan virus herpes secara umum adalah demam, menggigil, sesak napas, nyeri dipersendian atau pegal di satu bagian rubuh, munculnya bintik kemerahan pada kulit yang akhirnya membentuk sebuah gelembung cair. Keluhan lain yang kadang dirasakan penderita adalah sakit perut.

Penanganan dan Pengobatan Penyakit Cacar (Herpes)
Pada penderita penyakit cacar hal yang terpenting adalah menjaga gelembung cairan tidak pecah agar tidak meninggalkan bekas dan menjadi jalan masuk bagi kuman lain (infeksi sekunder), antara lain dengan pemberian bedak talek yang membantu melicinkan kulit. Penderita apabila tidak tahan dengan kondisi hawa dingin dianjurkan untuk tidak mandi, karena bisa menimbulkan shock.

Obat-obatan yang diberikan pada penderita penyakit cacar ditujukan untuk mengurangi keluhan gejala yang ada seperti nyeri dan demam, misalnya diberikan paracetamol. Pemberian Acyclovir tablet (Desciclovir, famciclovir, valacyclovir, dan penciclovir) sebagai antiviral bertujuan untuk mengurangi demam, nyeri, komplikasi serta melindungi seseorang dari ketidakmampuan daya tahan tubuh melawan virus herpes. Sebaiknya pemberian obat Acyclovir saat timbulnya rasa nyeri atau rasa panas membakar pada kulit, tidak perlu menunggu munculnya gelembung cairan (blisters).

Pada kondisi serius dimana daya tahan tubuh sesorang sangat lemah, penderita penyakit cacar (herpes) sebaiknya mendapatkan pengobatan terapy infus (IV) Acyclovir. Sebagai upaya pencegahan sebaiknya seseorang mendapatkan imunisasi vaksin varisela zoster. Pada anak sehat usia 1 - 12 tahun diberikan satu kali. Imunasasi dapat diberikan satu kali lagi pada masa pubertas untuk memantapkan kekebalan menjadi 60% - 80%. Setelah itu, untuk menyempurnakannya, berikan imunisasi sekali lagi saat dewasa. Kekebalan yang didapat ini bisa bertahan sampai 10 tahun.

Baca Selengkapnya...
diposkan oleh khomsah pada 18:27 | 10 Komentar
Penyakit Pneumonia
Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi atau peradangan pada organ paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur ataupun parasit di mana pulmonary alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer menjadi "inflame" dan terisi oleh cairan. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh iritasi kimia atau fisik dari paru-paru atau sebagai akibat dari penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau terlalu banyak minum alkohol. Namun penyebab yang paling sering ialah serangan bakteria streptococcus pneumoniae, atau pneumokokus.
Terjadinya Penyakit Pneumonia
Cara penularan virus atau bakteri Pneumonia sampai saat ini belum diketahui pasti, namun ada beberapa hal yang memungkinkan seseorang beresiko tinggi terserang penyakit Pneumonia. Hal ini diantaranya adalah :
1. Orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah, seperti penderita HIV/AIDS dan para penderita penyakit kronik seperti sakit jantung, diabetes mellitus. Begitupula bagi mereka yang pernah/rutin menjalani kemoterapy (chemotherapy) dan meminum obat golongan Immunosupressant dalam waktu lama, dimana mereka pada umumnya memiliki daya tahan tubuh (Immun) yang lemah.

2. Perokok dan peminum alkohol. Perokok berat dapat mengalami irritasi pada saluran pernafasan (bronchial) yang akhirnya menimbulkan secresi muccus (riak/dahak), Apabila riak/dahak mengandung bakteri maka dapat menyebabkan Pneumonia. Alkohol dapat berdampak buruk terhadap sel-sel darah putih, hal ini menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh dalam melawan suatu infeksi.

3. Pasien yang berada di ruang perawatan intensive (ICU/ICCU). Pasien yang dilakukan tindakan ventilator (alat bantu nafas) 'endotracheal tube' sangat beresiko terkena Pneumonia. Disaat mereka batuk akan mengeluarkan tekanan balik isi lambung (perut) ke arah kerongkongan, bila hal itu mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas (ventilator) maka potensial tinggi terkena Pneumonia.

4. Menghirup udara tercemar polusi zat kemikal. Resiko tinggi dihadapi oleh para petani apabila mereka menyemprotkan tanaman dengan zat kemikal (chemical) tanpa memakai masker adalah terjadi irritasi dan menimbulkan peradangan pada paru yang akibatnya mudah menderita penyakit Pneumonia dengan masuknya bakteri atau virus.

5. Pasien yang lama berbaring. Pasien yang mengalami operasi besar sehingga menyebabkannya bermasalah dalah hal mobilisasi merupakan salah satu resiko tinggi terkena penyakit Pneumonia, dimana dengan tidur berbaring statis memungkinkan riak/muccus berkumpul dirongga paru dan menjadi media berkembangnya bakteri.

Tanda dan Gejala Penyakit Pneumonia
Gejala yang berhubungan dengan pneumonia termasuk batuk, sakit dada, demam, dan kesulitan bernafas. Sedangkan tanda-tanda menderita Pneumonia dapat diketahui setelah menjalani pemeriksaan X-ray (Rongent) dan pemeriksaan sputum.

Penanganan dan Pengobatan Penyakit Pneumonia
Penanganan dan pengobatan pada penderita Pneumonia tergantung dari tingkat keparahan gejala yang timbul dan type dari penyebab Pneumonia itu sendiri.
1. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri akan diberikan pengobatan antibiotik. Pengobatan haruslah benar-benar komplite sampai benar-benar tidak lagi adanya gejala atau hasil pemeriksaan X-ray dan sputum tidak lagi menampakkan adanya bakteri Pneumonia, jika tidak maka suatu saat Pneumonia akan kembali diderita.

2. Pneumonia yang disebabkan oleh virus akan diberikan pengobatan yang hampir sama dengan penderita flu, namun lebih ditekankan dengan istirahat yang cukup dan pemberian intake cairan yang cukup banyak serta gizi yang baik untuk membantu pemulihan daya tahan tubuh.

3. Pneumonia yang disebabkan oleh jamur akan mendapatkan pengobatan dengan pemberian antijamur.

Disamping itu pemberian obat lain untuk membantu mengurangi nyeri, demam dan sakit kepala. Pemberian obat anti (penekan) batuk di anjurkan dengan dosis rendah hanya cukup membuat penderita bisa beristirahat tidur, Karena batuk juga akan membantu proses pembersihan secresi mucossa (riak/dahak) diparu-paru.

Baca Selengkapnya...
diposkan oleh khomsah pada 04:39 | 1 Komentar
Penyakit AIDS
Kali ini saya akan mencoba membahas mengenai pengertian penyakit AIDS, penyebab penyakit AIDS, Pola atau cara penularan penyakit AIDS serta penanganan dan pengobatan yang diberikan kepada penderita penyakit HIV+ atau AIDS.
Cara Penularan virus HIV AIDS1. Melalui darah. misalnya ; Transfusi darah, terkena darah HIV+ pada kulit yang terluka, jarum suntik, dsb.

2. Melalui cairan semen, air mani (sperma atau peju Pria). misalnya ; seorang Pria berhubungan badan dengan pasangannya tanpa menggunakan kondom atau pengaman lainnya, oral sex, dsb

3. Melalui cairan vagina pada Wanita. misalnya ; Wanita yang berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks, dsb.

4. Melalui Air Susu Ibu (ASI). misalnya ; Bayi meminum ASI dari wanita hiv+, Pria meminum susu ASI pasangannya, dsb.

Adapun cairan tubuh yang tidak mengandung Virus HIV pada penderita HIV+ antara lain Saliva (air liur atau air ludah), Feses (kotoran atau tinja), Air mata, Air keringat
serta Urine (Air seni atau air kencing).

Tanda dan Gejala Penyakit AIDSSeseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang berisiko terkena virus HIV.

Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS diantaranya adalah seperti dibawah ini :

1. Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada dan demam seprti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.

2. Saluran Pencernaan. Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.

3. Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga.

4. System Persyarafan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.

5. System Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.

6. Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah 'pelvic inflammatory disease (PID)' dan mengalami masa haid yang tidak teratur (abnormal).

Penanganan dan Pengobatan Penyakit AIDSKendatipun dari berbagai negara terus melakukan researchnya dalam mengatasi HIV AIDS, namun hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS. Adapun tujuan pemberian obat-obatan pada penderita AIDS adalah untuk membantu memperbaiki daya tahan tubuh, meningkatkan kualitas hidup bagi meraka yang diketahui terserang virus HIV dalam upaya mengurangi angka kelahiran dan kematian.

Kita semua diharapkan untuk tidak mengucilkan dan menjauhi penderita HIV karena mereka membutuhkan bantuan dan dukungan agar bisa melanjutkan hidup tanpa banyak beban dan berpulang ke rahmatullah dengan ikhlas.

Baca Selengkapnya...
diposkan oleh khomsah pada 03:09 | 1 Komentar
Penyakit Hepatitis
Penyakit Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis virus yang menyerang dan menyebabkan peradangan serta merusak sel-sel organ hati manusia. Hepatitis diketegorikan dalam beberapa golongan, diantaranya hepetitis A,B,C,D,E,F dan G. Di Indonesia penderita penyakit Hepatitis umumnya cenderung lebih banyak mengalami golongan hepatitis B dan hepatitis C. namun disini kita akan membahas pada fokus artikel penyakit Hepatitis A,B dan C.
Penyakit Hepatitis A
Hepatitis A adalah golongan penyakit Hepatitis yang ringan dan jarang sekali menyebabkan kematian, Virus hepatitis A (VHA=Virus Hepatitis A) penyebarannya melalui kotoran/tinja penderita yang penularannya melalui makanan dan minuman yang terkomtaminasi, bukan melalui aktivitas sexual atau melalui darah. Sebagai contoh, ikan atau kerang yang berasal dari kawasan air yang dicemari oleh kotoran manusia penderita.

Penyakit Hepatitis A memiliki masa inkubasi 2 sampai 6 minggu sejak penularan terjadi, barulah kemudian penderita menunjukkan beberapa tanda dan gejala terserang penyakit Hepatitis A.

1. Gejala Hepatitis A
Pada minggu pertama, individu yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat. Demam yang terjadi adalah demam yang terus menerus, tidak seperti demam yang lainnya yaitu pada demam berdarah, tbc, thypus, dll.

2. Penanganan dan Pengobatan Hepatitis A
Penderita yang menunjukkan gejala hepatitis A seperti minggu pertama munculnya yang disebut penyakit kuning, letih dan sebagainya diatas, diharapkan untuk tidak banyak beraktivitas serta segera mengunjungi fasilitas pelayan kesehatan terdekat untuk mendapatkan pengobatan dari gejala yang timbul seperti paracetamol sebagai penurun demam dan pusing, vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan nafsu makan serta obat-obatan yang mengurangi rasa mual dan muntah.

Sedangkah langkah-langkah yang dapat diambil sebagai usaha pencegahan adalah dengan mencuci tangan dengan teliti, dan suntikan imunisasi dianjurkan bagi seseorang yang berada disekitar penderita.

Penyakit Hepatitis B
Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang tergolong berbahaya didunia, Penyakit ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan hati akut atau menahun. Seperti hal Hepatitis C, kedua penyakit ini dapat menjadi kronis dan akhirnya menjadi kanker hati. Proses penularan Hepatitis B yaitu melalui pertukaran cairan tubuh atau kontak dengan darah dari orang yang terinfeksi Hepatitis B.

Adapun beberapa hal yang menjadi pola penularan antara lain penularan dari ibu ke bayi saat melahirkan, hubungan seksual, transfusi darah, jarum suntik, maupun penggunaan alat kebersihan diri (sikat gigi, handuk) secara bersama-sama. Hepatitis B dapat menyerang siapa saja, akan tetapi umumnya bagi mereka yang berusia produktif akan lebih beresiko terkena penyakit ini.

1. Gejala Hepatitis B
Secara khusus tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah demam, sakit perut dan kuning (terutama pada area mata yang putih/sklera). Namun bagi penderita hepatitis B kronik akan cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut, sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih beresiko.

2. Penanganan dan Pengobatan Hepatitis B
Penderita yang diduga Hepatitis B, untuk kepastian diagnosa yang ditegakkan maka akan dilakukan periksaan darah. Setelah diagnosa ditegakkan sebagai Hepatitis B, maka ada cara pengobatan untuk hepatitis B, yaitu pengobatan telan (oral) dan secara injeksi.
a. Pengobatan oral yang terkenal adalah ;
- Pemberian obat Lamivudine dari kelompok nukleosida analog, yang dikenal dengan nama 3TC. Obat ini digunakan bagi dewasa maupun anak-anak, Pemakaian obat ini cenderung meningkatkan enzyme hati (ALT) untuk itu penderita akan mendapat monitor bersinambungan dari dokter.
- Pemberian obat Adefovir dipivoxil (Hepsera). Pemberian secara oral akan lebih efektif, tetapi pemberian dengan dosis yang tinggi akan berpengaruh buruk terhadap fungsi ginjal.
- Pemberian obat Baraclude (Entecavir). Obat ini diberikan pada penderita Hepatitis B kronik, efek samping dari pemakaian obat ini adalah sakit kepala, pusing, letih, mual dan terjadi peningkatan enzyme hati. Tingkat keoptimalan dan kestabilan pemberian obat ini belum dikatakan stabil.

b. Pengobatan dengan injeksi/suntikan adalah ;
Pemberian suntikan Microsphere yang mengandung partikel radioaktif pemancar sinar ß yang akan menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya. Injeksi Alfa Interferon (dengan nama cabang INTRON A, INFERGEN, ROFERON) diberikan secara subcutan dengan skala pemberian 3 kali dalam seminggu selama 12-16 minggu atau lebih. Efek samping pemberian obat ini adalah depresi, terutama pada penderita yang memilki riwayat depresi sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit pada otot-otot, cepat letih dan sedikit menimbulkan demam yang hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian paracetamol.

Langkah-langkah pencegahan agar terhindar dari penyakit Hepatitis B adalah pemberian vaksin terutama pada orang-orang yang beresiko tinggi terkena virus ini, seperti mereka yang berprilaku sex kurang baik (ganti-ganti pasangan/homosexual), pekerja kesehatan (perawat dan dokter) dan mereka yang berada didaerah rentan banyak kasus Hepatitis B.

Penyakit Hepatitis C
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis C (VHC). Proses penularannya melalui kontak darah {transfusi, jarum suntik (terkontaminasi), serangga yang menggiti penderita lalu mengigit orang lain disekitarnya}. Penderita Hepatitis C kadang tidak menampakkan gejala yang jelas, akan tetapi pada penderita Hepatitis C kronik menyebabkan kerusakan/kematian sel-sel hati dan terdeteksi sebagai kanker (cancer) hati. Sejumlah 85% dari kasus, infeksi Hepatitis C menjadi kronis dan secara perlahan merusak hati bertahun-tahun.

1. Gejala Hepatitis C
Penderita Hepatitis C sering kali orang yang menderita Hepatitis C tidak menunjukkan gejala, walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Namun beberapa gejala yang samar diantaranya adalah ; Lelah, Hilang selera makan, Sakit perut, Urin menjadi gelap dan Kulit atau mata menjadi kuning yang disebut "jaundice" (jarang terjadi). Pada beberapa kasus dapat ditemukan peningkatan enzyme hati pada pemeriksaan urine, namun demikian pada penderita Hepatitis C justru terkadang enzyme hati fluktuasi bahkan normal.

2. Penanganan dan Pengobatan Hepatitis C
Saat ini pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan pemberian obat seperti Interferon alfa, Pegylated interferon alfa dan Ribavirin. Adapun tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah menghilangkan virus dari tubuh anda sedini mungkin untuk mencegah perkembangan yang memburuk dan stadium akhir penyakit hati. Pengobatan pada penderita Hepatitis C memerlukan waktu yang cukup lama bahkan pada penderita tertentu hal ini tidak dapat menolong, untuk itu perlu penanganan pada stadium awalnya.

Baca Selengkapnya...
diposkan oleh khomsah pada 14:45 | 2 Komentar
Penyakit Tuberkulosis (TBC)
Penyakit TBC adalah merupakan suatu penyakit yang tergolong dalam infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja. Di Indonesia khususnya, Penyakit ini terus berkembang setiap tahunnya dan saat ini mencapai angka 250 juta kasus baru diantaranya 140.000 menyebabkan kematian. Bahkan Indonesia menduduki negara terbesar ketiga didunia dalam masalah penyakit TBC ini.

Penyebab Penyakit (TBC)
Cara Penularan Penyakit TBC
Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru.

Masuknya Mikobakterium tuberkulosa kedalam organ paru menyebabkan infeksi pada paru-paru, dimana segeralah terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular). Dengan reaksi imunologis, sel-sel pada dinding paru berusaha menghambat bakteri TBC ini melalui mekanisme alamianya membentuk jaringan parut. Akibatnya bakteri TBC tersebut akan berdiam/istirahat (dormant) seperti yang tampak sebagai tuberkel pada pemeriksaan X-ray atau photo rontgen.

Seseorang dengan kondisi daya tahan tubuh (Imun) yang baik, bentuk tuberkel ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Lain hal pada orang yang memilki sistem kekebelan tubuh rendah atau kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Sehingga tuberkel yang banyak ini berkumpul membentuk sebuah ruang didalam rongga paru, Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (riak/dahak). Maka orang yang rongga parunya memproduksi sputum dan didapati mikroba tuberkulosa disebut sedang mengalami pertumbuhan tuberkel dan positif terinfeksi TBC.

Berkembangnya penyakit TBC di Indonesia ini tidak lain berkaitan dengan memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Hal ini juga tentunya mendapat pengaruh besar dari daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC.

Gejala Penyakit TBC
Gejala penyakit TBC digolongkan menjadi dua bagian, yaitu gejala umum dan gejala khusus. Sulitnya mendeteksi dan menegakkan diagnosa TBC adalah disebabkan gambaran secara klinis dari si penderita yang tidak khas, terutama pada kasus-kasus baru.

1. Gejala umum (Sistemik)
- Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
- Penurunan nafsu makan dan berat badan.
- Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
- Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

2. Gejala khusus (Khas)
- Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
- Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
- Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
- Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Pada penderita usia anak-anak apabila tidak menimbulkan gejala, Maka TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Sekitar 30-50% anak-anak yang terjadi kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

Penegakan Diagnosis pada TBC
Apabila seseorang dicurigai menderita atau tertular penyakit TBC, Maka ada beberapa hal pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk memeberikan diagnosa yang tepat antara lain :

- Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
- Pemeriksaan fisik secara langsung.
- Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
- Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
- Rontgen dada (thorax photo).
- dan Uji tuberkulin.

Pengobatan Penyakit TBC
Pengobatan bagi penderita penyakit TBC akan menjalani proses yang cukup lama, yaitu berkisar dari 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih. Penyakit TBC dapat disembuhkan secara total apabila penderita secara rutin mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter dan memperbaiki daya tahan tubuhnya dengan gizi yang cukup baik.

Selama proses pengobatan, untuk mengetahui perkembangannya yang lebih baik maka disarankan pada penderita untuk menjalani pemeriksaan baik darah, sputum, urine dan X-ray atau rontgen setiap 3 bulannya. Adapun obat-obtan yang umumnya diberikan adalah Isoniazid dan rifampin sebagai pengobatan dasar bagi penderita TBC, namun karena adanya kemungkinan resistensi dengan kedua obat tersebut maka dokter akan memutuskan memberikan tambahan obat seperti pyrazinamide dan streptomycin sulfate atau ethambutol HCL sebagai satu kesatuan yang dikenal 'Triple Drug'.

TRAUMA ABDOMEN

ASKEP TRAUMA ABDOMEN

TRAUMA ABDOMEN

A. PENGERTIAN
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002).
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).

B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).

C. PATOFISIOLOGI
Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt)-Trauma abdomen- :
1. Trauma tumpul abdomen
Æ Kehilangan darah.
Æ Memar/jejas pada dinding perut.
Æ Kerusakan organ-organ.
Æ Nyeri
Æ Iritasi cairan usus
2.Trauma tembus abdomen
Æ Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
Æ Respon stres simpatis
Æ Perdarahan dan pembekuan darah
Æ Kontaminasi bakteri
Æ Kematian sel
1 & 2 menyebabkan :
Kerusakan integritas kulit
Syok dan perdarahan
Kerusakan pertukaran gas
Risiko tinggi terhadap infeksi
Nyeri akut
(FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta)


D. TANDA DAN GEJALA
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :
Æ Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
Æ Respon stres simpatis
Æ Perdarahan dan pembekuan darah
Æ Kontaminasi bakteri
Æ Kematian sel
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Æ Kehilangan darah.
Æ Memar/jejas pada dinding perut.
Æ Kerusakan organ-organ.
Æ Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
Æ Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).

E. KOMPLIKASI
F Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
F Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
$ Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
$ Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
$ Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
$ IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
$ Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
$ Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium (FKUI, 1995).

G. PENATALAKSANAAN
# Penatalaksanaan kedaruratan ; ABCDE.
# Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
# Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin yang keluar (perdarahan).
# Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut) (FKUI, 1995).


MANAJEMEN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994).
Pengkajian pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :
1. Trauma Tembus abdomen
@ Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan).
@ Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru.
@ Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).
@ Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
@ Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.
@ Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.

2. Trauma tumpul abdomen
@ Dapatkan riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau salah). dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
• Metode cedera.
• Waktu awitan gejala.
• Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderita ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.
• Waktu makan atau minum terakhir.
• Kecenderungan perdarahan.
• Penyakit danmedikasi terbaru.
• Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
• Alergi.
@ Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.

PENATALAKSANAAN KEDARURATAN
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
a) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c) Gunting baju dari luka.
d) Hitung jumlah luka.
e) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
a) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada.
b) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
c) Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya perdarrahan internal.
d) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah nkekeringan visera.
a) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.
b) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.
7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine.
8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
a) Jahitan dilakukan disekeliling luka.
b) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
c) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.
11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

PENATALAKSANAAN DIRUANG PERAWATAN LANJUTAN
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.

C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994).
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

2. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.

e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.

4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : - penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
ü 0 = mandiri penuh
ü 1 = memerlukan alat Bantu.
ü 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
ü 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
ü 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

D. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.


DAFTAR PUSTAKA
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta.

THYPOID

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN THYPOID
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi ( Arief Maeyer, 1999 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).
Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
2. Etiologi
Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
3. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
4. Manifestasi Klinik
Masa tunas typhoid 10 – 14 hari
a. Minggu I
pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari. Dengan keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan mual, batuk, epitaksis, obstipasi / diare, perasaan tidak enak di perut.
b. Minggu II
pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang khas (putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan kesadaran.

5. Komplikasi
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perporasi usus
3) Ilius paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5) Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6) Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.
6. Penatalaksanaan
a. Perawatan.
1) Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah komplikasi perdarahan usus.
2) Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi perdarahan.
b. Diet.
1) Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
2) Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
3) Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
4. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
c. Obat-obatan.
1) Klorampenikol
2) Tiampenikol
3) Kotrimoxazol
4) Amoxilin dan ampicillin
7. Pencegahan
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah dari toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah (yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan hindari makanan pedas

8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1) Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :
a. Faktor yang berhubungan dengan klien :
1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
3. Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.
b. Faktor-faktor Teknis
1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.
3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.


9. Tumbuh kembang pada anak usia 6 – 12 tahun
Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex sekundernya.
Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan sosial dan emosi.
a. Motorik kasar
1) Loncat tali
2) Badminton
3) Memukul
4) motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama dan keleluasaan.
b. Motorik halus
1) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan
2) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.
c. Kognitif
1) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi
2) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah
3) Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal
4) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang
d. Bahasa
1) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak
2) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan kata depan
3) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal
4) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan
10. Dampak hospitalisasi
Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.
Penyebab anak stress meliputi ;
a. Psikososial
Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran
b. Fisiologis
Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri
c. Lingkungan asing
Kebiasaan sehari-hari berubah
d. Pemberian obat kimia
Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)
a. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya
b. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri
c. Selalu ingin tahu alasan tindakan
d. Berusaha independen dan produktif
Reaksi orang tua
a. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan dampaknya terhadap masa depan anak
b. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya peraturan Rumah sakit
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Faktor Presipitasi dan Predisposisi
Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang tercemar oleh salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C yang ditularkan melalui makanan, jari tangan, lalat dan feses, serta muntah diperberat bila klien makan tidak teratur. Faktor predisposisinya adalah minum air mentah, makan makanan yang tidak bersih dan pedas, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dari wc dan menyiapkan makanan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien typhoid adalah :
a. Resti ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit b.d hipertermi dan muntah.
b. Resti gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.
c. Hipertermi b.d proses infeksi salmonella thypi.
d. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik.
e. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
3. Perencanaan
Berdasarkan diagnosa keperawatan secara teoritis, maka rumusan perencanaan keperawatan pada klien dengan typhoid, adalah sebagai berikut :
Diagnosa. 1
Resti gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan muntah.
Tujuan
Ketidak seimbangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria hasil
Membran mukosa bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR) dalam batas normal, tanda-tanda dehidrasi tidak ada
Intervensi
Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukosa bibir kering, turgor kulit tidak elastis dan peningkatan suhu tubuh, pantau intake dan output cairan dalam 24 jam, ukur BB tiap hari pada waktu dan jam yang sama, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah nyeri dan distorsi lambung. Anjurkan klien minum banyak kira-kira 2000-2500 cc per hari, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, K, Na, Cl) dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan tambahan melalui parenteral sesuai indikasi.
Diagnosa. 2
Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat

Tujuan
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi
Kriteria hasil
Nafsu makan bertambah, menunjukkan berat badan stabil/ideal, nilai bising usus/peristaltik usus normal (6-12 kali per menit) nilai laboratorium normal, konjungtiva dan membran mukosa bibir tidak pucat.
Intervensi
Kaji pola nutrisi klien, kaji makan yang di sukai dan tidak disukai klien, anjurkan tirah baring/pembatasan aktivitas selama fase akut, timbang berat badan tiap hari. Anjurkan klien makan sedikit tapi sering, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah, nyeri dan distensi lambung, kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium seperti Hb, Ht dan Albumin dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antiemetik seperti (ranitidine).
Diagnosa 3
Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi
Tujuan
Hipertermi teratasi
Kriteria hasil
Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal bebas dari kedinginan dan tidak terjadi komplikasi yang berhubungan dengan masalah typhoid.
Intervensi
Observasi suhu tubuh klien, anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien, beri kompres dengan air dingin (air biasa) pada daerah axila, lipat paha, temporal bila terjadi panas, anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti katun, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti piretik.
Diagnosa 4
Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan
Kebutuhan sehari-hari terpenuhi
Kriteria hasil
Mampu melakukan aktivitas, bergerak dan menunjukkan peningkatan kekuatan otot.
Intervensi
Berikan lingkungan tenang dengan membatasi pengunjung, bantu kebutuhan sehari-hari klien seperti mandi, BAB dan BAK, bantu klien mobilisasi secara bertahap, dekatkan barang-barang yang selalu di butuhkan ke meja klien, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin sesuai indikasi.
Diagnosa 5
Resti infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive
Tujuan
Infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil
Bebas dari eritema, bengkak, tanda-tanda infeksi dan bebas dari sekresi purulen/drainase serta febris.
Intervensi
Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR dan RR). Observasi kelancaran tetesan infus, monitor tanda-tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan kondisi balutan infus, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti biotik sesuai indikasi.
Diagnosa 6
Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat
Tujuan
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil
Menunjukkan pemahaman tentang penyakitnya, melalui perubahan gaya hidup dan ikut serta dalam pengobatan.
Intervensinya
Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya, Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien, beri kesempatan keluaga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti, beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat, pilih berbagai strategi belajar seperti teknik ceramah, tanya jawab dan demonstrasi dan tanyakan apa yang tidak di ketahui klien, libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien
4. Evaluasi
Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan untuk klien dengan gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda vital stabil, kebutuhan cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi hipertermia, klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri, infeksi tidak terjadi dan keluaga klien mengerti tentang penyakitnya.

RESUSITASI CAIRAN

RESUSITASI CAIRAN
Abstrak
Respon endokrin berlangsung setelah cedera menyebabkan retensi natrium, klorida, dan cairan pada saat pemberian cairan yang mengandung natrium dalam jumlah besar untuk mempertahankan sirkulasi dan oksigenasi jaringan. Retensi natrium, klorida, dan cairan juga terjadi sebab terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah terhadap protein plasma khususnya albumin, yang menyebabkan sequestrasi cairan kedalam ruang interstisial dan terjadi edema. Retensi cairan dan elektrolit yang berlebihan dan edema interstisial berhubungan dengan SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome dan MOD (Multiple Organ Dysfunction) dan failure. Hubungan tersebut membuat kita untuk mencoba meninjau proses ini dan menimbulkan pertanyaan “Dapatkah manipulasi resusitasi cairan mempengaruhi respon inflamasi terhadap cedera dan fungsi organ”. Hasil penelitian klinik dengan metode prospektif control menganjurkan pembatasan input natrium dan klorida dan mengoptimalkan koloid sintetik yang tertahan baik di ruang vaskuler dapat mengurangi respon inflamasi terhadap cedera dan memperbaiki fungsi organ.

Resusitasi cairan
Komposisi cairan ekstraselluler pada tubuh seperti lautan yang didalamnya terdapat kehidupan beribu tahun yang lalu. Mekanisme homeostatik terjadi untuk mempertahankan lingkungan ekstraselluler dalam waktu singkat. Respon ginjal terhadap sistem renin-angiotensin-aldosteron, otak, dan hormon serta aksis pituitary posterior-vasopresin-renal untuk mempertahankan tonisitas dan natrium cairan ekstraselluler dan membantu mempertahankan tekanan darah. Setelah adanya gangguan seperti perdarahan, trauma tumpul, luka baker, infeksi, puasa, dan dehidrasi; melalui proses yang sama timbul respon secara langsung untuk mempertahankan lingkungan ekstraselluler.
Cedera atau pasien dengan penyakit akut, terapi cairan bertujuan untuk mempertahankan distribusi oksigen ke jaringan bersamaan dengan respon homeostasis. Penelitian ini diarahkan untuk menjelaskan respon tubuh dan k penggunaan resimen resusitasi cairan yang berbeda pada proses inflamasi dan fungsi organ. Belum ada konsensus tentang resimen cairan yang optimal untuk mengganti volume cairan akut setelah operasi atau trauma dan usaha untuk menjawab hal ini berdasarkan meta-analisis belum berhasil. Data yang digambarkan disini penelitian dengan pendekatan studi klinik prospektif kontrol yang mengawasi respon patofisiologi dan fungsi organ lebih informatif dan memberikan dasar bukti (evidence base) untuk memperbaiki terapi cairan pada pasien akut.
Homeostasis cairan dan natrium setelah cedera
Respons stress setelah gangguan seperti pembedahan , trauma, perdarahan, luka baker, dan cardiopulmonary arrest menyebabkan penyimpanan natrium dan cairan serta vasokonstriksi selektif untuk mempertahankan suplai darah ke otak, jantung, dan paru.

Intake natrium orang dewasa bervariasi tergantung diet, tetapi biasanya berkisar 100 sampai 220 mmol/24 jam, yang disertai 1,5 -2,5 liter air. Walaupun kisaran intake air dan garam lebar, tetapi ginjal mempertahankan konsentrasi natrium cairan ekstraselluler dalam kisaran yang sempit melalui vasopresin, renin-angiotensin-aldosteron system, otak, serta atrial natriuretik peptide.
Sementara itu, pasien setelah trauma major biasanya diberikan cairan dan natrium dalam jumlah lebih. Kehilangan darah dan inflamasi menginduksi kebocoran kapiler sistemik, yang cenderung membuat pasien hipovolemik. Ditambah lagi penggunaan anastesi untuk pembedahan dapat mengurangi resistensi vascular sistemik yang juga akan cenderung membuat pasien hipovolemik. Efek ini membuat kita memberikan darah dan cairan intravena, air dan garam dalam cairan yang beberapa kali dari intake normal sehari-hari.
Input cairan selama 24 jam pada pasien yang menjalani resusitasi untuk trauma major digambarkan pada tabel 1. Pasien tersebut akan mengalami respons stress berupa peningkatan sekresi vasopresin, renin, angiotensin II, aldosteron, dan penurunan pelepasan natriuretik peptide. Jadi, penambahan cairan dan natrium yang telah diberikan untuk mengisi kompartemen vaskular yang hilang dan mengganti kehilangan darah akibat trauma dan kehilangan selama operasi, tubuh pasien akan menahan air dan natrium secara intensif. Pada 24 jam pertama output urine berkisar 1000 ml dan ekskresi natrium sekitar 50 mmol. Jika kehilangan darah 5000 ml dan insensible losses 800 ml, pada akhir 24 jam pertama pasien berada dalam balans cairan positif sekitar 8800 ml dan balans natrium positif sekitar 1500 mmol. Tabel ini memperlihatkan adanya kelebihan cairan, gambaran cairan dan elektrolit postoperative yang menunjukkan bahwa pasien kemungkinan menerima sekitar 7000 ml air dan 700 mmol natrium dan klorida pada hari pertama postoperative. Apa yang terjadi pada pasien setelah kritis. Keadaan ini digambarkan pada dua kasus yang berbeda pada trauma major. Balans cairan dan elektrolit setelah dikoreksi kehilangan cairan insensible diperlhatkan pada gambar 2-5.
Pasien A (gambar 2) berespon cepat terhadap resusitasi cairan dan pemberian resusitasi cairan berhenti pada hari ke empat dan mendekati balans nol pada hari ke 5. Rasio pO2/FiO2 diatas 40 kpa menunjukkan fungsi paru tetap baik dan pasien bernafas biasa pada hari ke 10 dan meninggalkan ICU pada hari ke 12. Walaupun menerima natrium melebihi 1100 mmol natrium setelah hari ke 3, balans natrium kumulatif mendekati nol pada hari ke 6 (gambar 3).

Sebaliknya pasien B (gambar 4 dan 5) membutuhkan volume koloid dan kristaloid dalam jumlah besar untuk mempertahankan parameter kardiovaskular dalam batas yang dapat ditoleransi dan rasio pO2 /FiO2 tetap rendah. Adanya retensi air maksimum pada hari ke 8 dimana titik rasio pO2/FiO2 paling rendah dan pasien telah berkembang menjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) (gambar 4). Ketika pemberian diuretik dimulai, terjadi perbaikan fungsi paru yang disertai dengan mobilisasi natrium dan air. Pada hari ke 15 pasien menjadi septik dengan jatuhnya rasio pO2/FiO2 dan disetai retensi cairan rekuren. Tidak seperti pasien A, keseimbangan natrium dengan keseimbangan cairan berdekatan pada hari ke 13, dengan loading natrium maksimum pada hari ke 8 dan natriuresis progresif sampai hari ke 15, dan retensi natrium pada saat itu terjadi berhubungan dengan sepsis.

Ekskresi air dan natrium lebih diterima oleh tubuh pasien dengan respon katabolik pada pembedahan, trauma, atau sepsis. Kembali pada pasien B, gambar 6 menunjukkan serum C reactive protein ( marker umum inflamasi) dan ekskresi urea urine. Adanya peningkatan serum C reactive protein post trauma ,yang ditunjukkan dengan peningkatan yang lebih besar berhubungan dengan ARDS (hari 9-14) dan sepsis (hari 15-19).
Setiap periode inflamasi disertai dengan peningkatan ekskresi urea nitrogen urine. Gambar 7 menunjukkan perhitungan osmolalitas urine (perkiraan kasar berasal dari penggandaan jumlah natrium dan kalium dan menambah jumlah ekskresi urea) dan menggambarkan kelebihan zat terlarut ginjal diekskresikan . Urea urine sangat penting dalam menentukan osmolalitas urine dan selama episode inflamasi urine dengan tekanan osmotik berlebih ditingkatkan ekskresinya dan disertai dengan hipernatremia. Hal ini terjadi karena ekskresi natrium pasien B harus berkompetisi dengan nitrogen yang juga penting diekskesikan dan hipernatremia berlangsung selama peride ekskresi nitrogen urine lebih besar. (gambar 7). Pada orang sehat sekalipun, konsentrasi urine yang dapat dicapai berkisar 1000 mmol/l, dan pada pasien kritis biasanya hanya setengah dari nilai ini. Jika input cairan bebas tidak cukup, akan mengakibatkan hipernatremia maupun uremia dan usaha untuk mobilisasi edema terganggu dengan keadaan hiperosmolar merangsang pelepasan vasopressin dan menambah retensi cairan.Penanganan edema yang logis pada keadaan ini adalah peningkatan volume urine denganmeningkatkan input air dan memberikan diuretic jika penting untk mencegah efek vasopressin. Jika hal ini gagal makahemofiltrasi mungkin dibutuhkan.

Biasa juga terjadi hiponatremia pada pasien akut yang telah mendapatkan cairan intravena. Keadadaan ini kadang-kadang diinterpretasikan sebagai indikasi untuk memberikan natrium lebih, walaupun penyebab hiponatremi karena defesiensi natrium. Biasanya pasien seperti itu mempunyai kandungan natrium total tubuh tinggi, khususnya jika pasien memiliki balans cairan positif. Konsentrasi natrium dan kalium merupakan indikator sangat jelek pada status tubuhnya.
Ada beberapa penjelasan yang mungkin untuk hiponatremia dengan natrium tubuh total berlebihan, dimana terjadi akumulasi cairan pada ruang interstisiel disebabkan oleh translokasi albumin dan cairan melalui kapiler yang bocor, dan retensi cairan disebabkan oleh stress berhubungan dengan pelepasan vasopressin. Natrium juga hilang dari ruang ekstraselluler masuk ke dalam sel.Teori “sick cell syndrome” yang menjelaskan hiponatremia kronik, menjelaskan bahwa pergerakan natrium kedalam sel terjadi karena hilangnya solute intraselluler dan tidak ada edema selluler. Namun, peneliatian pada hewan membuktikan bahwa cedera akut dan inflamasi menyebabkan sekuestrasi natrium, klorida,dan air serta mungkin menyebabkan edema selluler. Cunningham dan Shire menunjukkan adanya peningkatan dua kali pada natrium sel darah merah dan penurunan kalium sel darah merah setelah shock yang lama pada 25 pasien. Pada kasus khusus, konsentrasi natrium sel darah merah meningkat 12 mmol/l dalam 5 jam dari awal shock, dan kembali normal dengan cepat setelah pembedahan repair laserasi arteri mesenterika. Peneliti mengemukakan bahwa defesiensi energi intraselluler dapat menyebabkan penurunan aktivitas pompa natrium- kalium sel yang menyebabkan natrium masik ke dalam sel. Ditambah lagi dengan adanya deficit energi sel sehingga terjadi hipoksia, pelepasan nitric oxida yang lama pada inflamasi hebat yang menghambat fungsi kompleks VI mitokondrial dan mengurani persediaa ATP. Terdapat banyak penelitian pada hewan menunjukkan perubahan aktivitas pompa natrium kalium sel sebagai respon dari bermacam intervensi. Hannon dan Boston memperhatikan pergerakan natrium, klorida, dan air kedalam sel otot skeletal dalam 12 jam pada ligasi dan tusukan pada sekum tikus. Attempting to assess accurately sodium balance is very difficult, but assuming there are no major errors in assessing sodium balance, a plausible explanation is intracellular sequestration of sodium
Pasien B mungkin mengalami akumulasi natrium intrasel. Pada hari ke 8 pasien dengan balans cairan positif sebanyak 15 liter (gambar 4) dengan balans natrium positif 2900 mmol (gambar 5). Konsentrasi natrium ekstrasel adalah 138 mmol/l (gambar 7). Kandungan natrium dalam 15 liter dapat dihitung (138x15) dan menjadi 2070mmol, sehingga balans sodium positif sekitar 830 mmol natrium. Usaha untuk menghitung dengan tepat balans sodium sangat sulit, tetapi tidak ada kesalahan yang sangat besar dalam menghitung balans natrium ini , yang jelas pemahaman tentang sekustrasi intraselluler dapat diterima.
SYSTEMIC CAPILLARY LEAK AND SYSTEMIC INFLAMMATORY RESPONSE SYNDROME
Mikrosirkulasi setelah cedera disertai dengan edema interstisial oleh karena peningkatan permeabilitas sistemik dan dalam keadaan hebat edema sel dapat menghambat aliran darah kapiler. Kebocoran kapiler sistemik merupakan ciri respon inflamasi sebagai tanda cedera, infeksi, atau iskemik, dan gangguan perfusi. Hal ini terjadi dalam beberapa menit dari cedera sesuai dengan kehebatan gangguan dan pada kasus tanpa komplikasi berlangsung dalam beberapa jam. Klinis sindrom kebocoran kapiler ditandai oleh pergerakan air dan protein lebiiiiih banyak dari ruang vaskuler ke interstisiel karena hipoalbuminemia, meningkatnya kepekatan darah, hipovolemia dan akumulasi edema cairan interstisial. Walaupun demikian, mekanisme inflamasi menginduksi kebocoran kapiler belum jelas. Saat ini sudah jelas respon sel endothelial terhadap pelepasan mediator inflamasi. Setelah stimulasi inflamasi neurogenik oleh substansi P, sel endothelial trakea tikus diteliti lagi dengan scan elektromikroskopi. Melalui gap sel endothelial ini protein berpindah, yang paling banyak adalah albumin. Setiap gram albumin berikatan dengan 18 gram cairan isotonik yang berperan dalam mekanisme terjadinya retensi air dan garam dan terjasinya edema interstisial. Oleh karena 60 % albumin tubuh normalnya berada di ruang interstisiel dan jumlah ini meningkat setelah cedera atau sepsis disebabkan karena kebocoran kapiler, larutan albumin bukan pilihan ideal yang efektif untuk peningkatan cairan kompartemen vaskuler.
Edema interstisiel mempengaruhi fungsi organ dengan membatasi aliran darah kapiler, pertukaran gas, dan oksigenasi jaringa. Hal ini berperan penting dalam paru menyebabkan ARDS dan pada ginjal dimana edema interstisial menyebabkan peningkatan tekanan intrarenal yang melawan tekanan filtrasi yang dialirkan oleh jantung. Sindroma kebocoran kapiler yang tidak terkendali dan menyebabkan respon inflamasi sistemik yang hebat yang dikenal sebagai systemic inflammatory response syndrome (SIRS). SIRS berhubungan dengan overload cairan, edema, kegagalan organ multiple, dan kematian jika gagal mempertahankan homeostasis.
Sifat khusus dalam mekanisme pemekatan ginjal mampu mengekskresikan albumin dalam jumlah kecil (mikroalbuminuria) dapat digunakan untuk mengetahui perubahan permeabilitas kapiler sistemik setelah trauma, luka baker, operasi, iskemik dan reperfusi dan keadaan innflamasi lain seperti pankreatitis. Penelitian ini menunjukkan adanya mikroalbuminuria terjadi dalam beberapa menit terjadinya inflamasi, tergantung beratnya keadaan awal dan diperkirakan akan terjadi ARDS setelah trauma,disfungsi pulmoner setelah operasi elektif, infark miokard akut, kegagalan organ multiple, dan kematian selama di ICU. Gambar 9 menunjukkan pola khusus respon tubuh terhadap gangguan permeabilitas kapioler sistemik (mikroalbuminuria) dan mediator inflamasi (plasma interleukin 6) dan marker plasma (serum C reactive protein).
Kegagalan ekskresi kelebihan air, natrium, dan klorida setelah resusitasi disebabkan karena iatrogenic atau karena efek respon inflamasi yang hebat. Apapun penyebab overload cairan dan edema, sekali proses berlangsung, akan terjadi siklus berikutnya.
Tabel bagaimana overload cairan dapat menyebabkan edema
Kardiovaskuler
• Peningkatan preload mengurangi cardiac output edema
• Edema pulmoner hipoksia jaringan kegagalan mikrovaskular edema jaringan
Mikrovaskular/sellular
• Edema Interstitial mengurangi aliran darah kapiler hipoksia jaringan memperberat edema
• Edema Interstitial mengurangi drainase lymphatic memperberat edema
• Edema Interstitial menyebabkan tingginya tekanan intrakapsular: rendah GFR, oliguria, selanjutnya retensi natrium dan air memperberat edema

Metabolik
• Kelebihan natrium bersaing dengan urea untuk ekskresi dalam ginjal : uremia, hypernatremia, hiperosmolaritas, retensi cairan memperberat edema
• Kelebihan klorida menyebabkan asidosis hiperkloremik : memperburuk asidosis post trauma, vasokonstriksi renal à memperberat edema
Efek Loading natrium dan klorida
Penambahan volume cairan intravena harus isotonic dengan plasma. Hal ini dicapai dengan pemberian natrium dalam cairan dengan jumlah 130-150 mmol/l, dengan klorida sebagai anion utama. Oleh karena resusitasi cairan sangat penting, maka penambahan natrium, klorida, dan air pada akhirnya harus diekskresikan jika pasien telah pulih. Pemberian cairan intravena berlebih pada pasien yang aktif menahan air dan natrium dapat menyebabkan overload, Lebih 50 tahun yang lalu, Wilkinson menggambarkan ketidakmampuan pasien pembedahan untuk mengekskresikan kelebihan garam dan air sampai pulih. Moore menggambarkan “ Fase retensi urine” dan fase diuresis natrium “ pada cedera dan mengamati kemampuan ekskresi natrium klorida dan air pada pemulihan. Setelah bedah major atau trauma, terdapat resiko edema pada paru, ginjal, dan saluran cerna dan bahaya ini ditambah dengan pemberian cairan, natrium, dan klorida berlebih dengan gegabah. Membatasi input natrium dan penggunaan diuretik merupakan penanganan utama baik pada penyakit jantung kongestif dan penyakit liver untuk megurangi edema dan asites.
Retensi air dan natrium yang hebat menyebabkan edema interstisial, fungsi paru jelek, ARDS, dan kegagalan organ multiple. Sebagai dasar pandangan sekarang ini bahwa pasien dengan balans positif lebih dari 67 ml/kg dala waktu 36 jam pertama post operatif, sangat beresiko edema pulmoner. Hal ini menimbulkan pertanyaan “ Untuk apa pemberian cairan dan natrium berlebih pada penanganan pasien akut yang tak dapat dihindari yang akhirnya dapat menyebabkan edema interstisiel, disfungsi organ, dan keadaan yang jelek.
Penelitian baru-baru ini, baik pada orang normal maupun pada pasien akut menyarankan bahwa loading dengan natrium, klorida, dan air mempunyai efek merusak dan membatasi input natrium dan klorida menguntungkan. Dengan metode double blind cross over study, 10 relawan yang sehat diacak menerima 2 liter natrium klorida 0,9 % dan 2 liter dextrose 5 % secara intravena dalam waktu 60 menit Setelah 6 jam infuse salin, hanya ¼ loading cairan yang diekskresikan, tetapi setelah 6 jam infuse dextrose, ¾ loading cairan diekskresikan dengan diuresis cepat. Hanya loading salin yang disertai hipernatremia, hiperkloremia, dan konsentrasi albumin serum yang tetap turun. Perbandingan infus intravena dengan 50 ml/kg 0,9 % salin ( natrium dan klorida 154 mmol/l) atau larutan ringer laktat (sodium 130 mmol/l dan klorida 113 mmol/l) pada subjek normal menunjukkan bahwa dengan subjek dengan salin berkembang menjadi asidosis metabolic hiperkloremik. Hasil ini dipertahankan berdasarkan respon fisiologik secara teori terhadap loading natrium dan klorida. Kesalahan pemberian nama “normal salin” , kandungan natrium dan klorida diatas normal, dimana osmolalitas 304 mosm/kg ddapat menstimulasi pelepasan vasopresi dan menyebabkan penahanan cairan.Hyperchloraemia causes renal vasoconstriction.
Hiperkloremia menyebabkan vasokonstriksi ginjal, yang merupakan mekanisme lain yang meyebabkan retensi cairan setelah loading saline. Garam mengandung larutan koloid yang mempengaruhi keadaan asam basa. Waters dan kawan-kawan membandingkan pemberian intravena 15 ml/kg hydroxyethyl starch 6 % (mengandung 150 mmol/l klorida) dan albumin (mengandung klorida 98 mmol/l). Hanya kelompok yang menerima starch menunjukkan asidosis metabolic, yang mengandung klorida lebih tinggi dari kandungan pada albumin manusia.
Kandungan natrium dan air pada intravenous feeding pre operatif pada pasien malnutrisi menunjukkan adanya perubahan. Lobo dan kawan-kawan melakukan penelitian retrospektiv pada 44 pasien dengan pemberian nutrisi dimana 21pasien sedang mengalami edema. Bantuan nutrisi pada kelompok edema diberikan makanan dengan natrium dan volume yang rendah. Kelompok pasien edema berat badan turun kira-kira 10 kg karena mobilisasi natrium dan air disertai dengan peningkatan konsentrasi albumin serum yang menyebabkan perubahan berat badan. Gil dan kawan-kawan mengacak 41 pasien dengan kanker gastrointestinal dan malnutrisi hebat dengan pemberian resimen parenteral isokalori dan isonitronenik preoperative. Resimen standard mengandung 140 mmol/hari natrium dan resimen modiifikasi tanpa natrium dan kuran air. Penambahan berat badan, balans cairan positif, dan balans natrium positif ditemukan pada keompok dengan resimen modifikasi, dan balans cairan dan balans natrium negatif pada kelompok dengan resimen modifikasi. Terjadi penurunan komplikasi post operatif dan lama tinggal dirumah sakit pada pasien yang diberikan resimen modifikasi. Starker dan kawan-kawan memonitor efek rata-rata satu minggu pemberian nutrisi parenteral total sebelum operasi abdominal pada pasien yang kehilangan nutrisi. Pasien ini difollow up untuk melihat komplikasi post operatif. 16 % pasien berespon terhadap TPN dengan mobilisasi edema dan peningkatan serum albumin dan hanya 1 yang mengalami komplikasi postoperatif. 16 pasien yang lain bertambah berat badan dan albumin serum turun.Delapan pasien dari 15 berkembang menjadi komplikasi postoperatif. Kegagalan mobilisasi edema pada nutrisi parenteral menghasilkan prognosis jelek.
Laporan ini menunjukkan pembatasan input natrium, klorida, dan air dapat mempengaruhi akibatnya. Hal apa yang menyebabkan kurangnya pemahaman tentang dasar-dasar pemberian cairan intravena termasuk UK dan kegagalan terapi yang sering walaupun menggunakan pengukuran elektrolit dan nitrogen untuk mengoptimalkan terapi cairan.
Larutan hipertonik
Walaupun efek merusak loading natrium dan klorida, peningkatan tonisitas plasma pada periode awal post trauma telah diakui berpengaruh terhadap fungsi organ dan menjadi subjek penelitian 20 tahun belakangan ini. Penelitian secara klinis stelah trauma kepal menyarankan pada awalnya diterapi denga larutan hipertonik dapat mengurangi tekanan intrakranial, meningkatkan tekaan perfusi otak, dan memperbaiki hasil terapi, dibandingkan dengan resusitasi isotonis.Namun, pasien dengan trauma kepala yang juga terjadi hipovolemik, larutan hipertonik hanya berguna pada awal terapi dan tidak boleh sebagai terapi tunggal.

Studi klinis dengan menggunakan larutan hipertonik untuk penanganan shock hipovolemik tidak menunjukkan keuntungan yang terus-menerus menurunkan mortalitas data morbiditas, walaupun hal ini mungkin diakibatkan oleh rumitnya model studi klinis "yang digunakan dan bervariasinya efek dari larutan hipertonik.
Untuk menilai akibat yang berbeda dari resimen resusitasi cairan yang berbeda terhadap mortalitas dan morbiditas, jjumlah pasien yang banyak dibutuhkan untuk studi klinis untuk mempunyai data yang cukup kuat. Kesulitan lain adalah banyaknya jenis cairan yang digunakan sebagai perawatan standar, yang membuat pemilihan resimen kontrol sama penting pada saat entervensi penelitian. Akibatnya inklusi subjek penelitian dari beberapa penelitian seperti saline hipertonik dengan atau tanpa koloid seperti dextran, yang dilakukan resusitasi pada trauma, shock hemoragik, luka bakar dengan mengurangi volume cairan yang dibutuhkan, dan beberapa yang diperbaiki fungsi parunya. Mekanisme dasar keuntungan yang didapatkan pada studi klinis ini belum jelas, tetapi terlihat bahwa hal ini menyebabkan efek osmotik/biofisik membatasi edema interstisial sebab volume cairan hipertonik yang diberikan sedikit. Dan infus larutan hipertonik menarik cairan dari ruang interstisial untuk menambah ruang vaskuler yang hilang adalah efek dalam waktu singkat, dan defisit yang masih ada perlu dikoreksi.
Bukti baru-baru ini dari pwnwlitian klinis, hewan, dan secara in vitro menunjukkan bahwa manipulasi osmolalitas plasma (tonisitas) segera setelah trauma mempunyai efek immunomodulas, yang mempengaruhi mikrosirkulasi dan berpotensial memberikan efek. Pemberian salin hipertonik segera dengan atau tanpa dextran, pada hewan yang shock hemoragik mengurangi ikatan endothelial neutrofil. Namun, pemberian salin hipertonik setelah stimulasi neutrofil, meningkatkan degranulasi neutrofil, pelepasan elastase, dan produksi radikal bebas, yang menjadi proses patogenesis cedera paru dan kegagalan organ. Jadi, penggunaan larutan hipertonik mempengaruhi respon immun proinflamasi tergantung waktu pemberian setelah cedera dan pemberian yang terlambat dapat meningkatkan resiko kegagalan organ kemudian. Waktu kritis menjadi tambahan penjelasan hasil yang diperdebatkan dari pemberian segera resimen resusitasi hipertonik.
Penelitian secara in vitro juga menunjukkan salin hipertonik mempengaruhi supresi immune post-traumatik. Post-trauma menekan sel T manusia, dan sel dapat disupresi dengan sitokin anti-inflamasi (interleukin 4 dan 10 dan TGF) dan dapat dinaikkan dengan salin hipertonik dengan menghasilkan 80 % dari normal interleukin yang dikeluarkan. Hanya dengan terdapatnya agen anti-inflamasi salin hipertonik memperkuat ekspresi interleukin 2 dan proliferasi dari sel T. Studi lanjut menunjukkan salin hipertonik dapat mengembalikan supresi sel T pada pasien trauma dengan cara menghambat atau subtitusi yang memblok signal pathway.
Hasil ini menunjukkan bahwa larutan hipetonik dapat bernilai pada akut hipovolemia, tetapi diberikan sebelum resuritasi cairan : keterlambatan pemberian dapat memperkuat aktivasi respon inflamasi neutrofil-sel endothelial. Larutan salin hipertonik tidak dianjurkan untuk resusitasi cairan, tetapi dapat sebagai obat yang berperan meningkatkan sistem immune jika diberikan sesegera mungkin setelah cedera sebelum terapi volume dimulai. Informasi ini seharusnya mempengaruhi penelitian dengan design klinikal trial pengguanaan larutan hipertonik pada penanganan trauma prehospital dan hospital.
Efek berbagai koloid
Sejak pertengahan abad lalu, larutan albuumin manusia merupakan utama untuk menambah volume, dan telah dicari alternatif buatan karena albumin manusia sangat mahal daripada koloid sintetik atau larutan kristaloid. Apalagi resiko infeksi saat ini ddari produk darah menambah permintaan koloid sintetik. Larutan yang ideal volume ekspander yaitu yang tetap tinggal di ruang vaskuler, tidak mempengaruhi homeostatik, inert (tidak terurai), dan diekskresikan total. Hal ini dikembangkan berbagai macam koloid termasuk gelatin dengan berat molekul rendah dengan berat rata-rata 30 kDa, dextran dengan berat molekul rata-rata antara 40 sampai 150 kDa, dan jenis Hydroxyethiyl starch (HES) yang disediakan dengan berat molekul rata-rata 70 kDa sampai 450 kDa. Larutan HES dengan berat molekul tinggi yang dikenal hetastarhes, tetap tertahan di sirkulasi selama beberapa jam dan cenderung mempengaruhi koagulasi, tetapi tetapi sediaan HES sekarang sedikit menimbulkan masalah dengan berat molekul rata-rata sekitar 100 kDa sampai 200 kDa dan dengan berat rendah mempercepat degradasi dan ekskresinya. Secara umum tanpa memandang perbedaan harga dan anekdot penggunaan koloid lebih berdasarkan keadaan klinis daripada efesiensi. Namun, penelitian tentang efek penggunaan koloid yang berbeda terhadap respon inflamasi dan fungsi organ tetap diamati dan memerlukan penelitian dengan studi klinis komparatif prospektif.
Bukti klinis dan studi in vitro yang membandingkan HES dengan albumin, gelatin, dan ekspansi volume hanya dengan koloid, menunjukkan bahwa HES mengurangi inflamasi yang menginduksi kebocoran kapiler terhadap air dan albumin yang kemungkinan memodulasi pelepasan sitokin dan interaksi leukosit dengan endothel vaskular.
HES mempunyai keuntungan klinis yang berbeda dibanding dengan cairan lain, dimana keadaan biofisik HES yang tidak sederhana tertahan lebih baik pada kebocoran vaskuler. Bolt dan kawan-kawan mengacak 30 pasien trama dan 30 pasien sepsis yang menerima 10 % HES (berat molekul rata-rata 200 kDa) atau 29 % albumin manusia yang diinfus selama 5 hari untuk mempertahankan tekanan kapiler pulmoner antara 12 mmHg dan 18 mmHg. Tekanan vena sentral dan tekanan kapiler pulmoner dibandingkan dalam kedua kelompok (trauma/sepsis) selama penelitian. Baik pada pasien trauma maupun paien sepsis, kardiak indeks, konsumsi oksigen, dan distribusi aksigen, meningkat dengan pengguanaan HES. Fraksi ejeksi ventrikel kanan berkurang (<40%)>7,35) baik pada penanganan dengan albumin dan HES pada kelompok trauma dan penggunaan HES pada pasien sepsis. Pemberian albumin pada pasien sepsis, pHi turun dibawah 7,20 selama penelitian yang menunjukkan menurunnya perfusi splanikus. Peneliti menyimpulkan terapi cairan albumin dalam waktu yang lama pada pasien trauma dan pasien sepsis tidak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan HES. Penggantian volume dengan HES memperbaiki hemodinamik sistemik pada kedua kelompok, dan memperbaiki perfusi splanikus pada pasien sepsis.
Pada percobaan denga metode acak prospektif penggunaan HES dibandingkan dengan kristaloid pada 30 pasien yang mengalami operasi aorta, Marik dan kawan-kawan juga meneliti perfusi splanikus dengan pengukuran pHi. Penurunan pHi sedikit terjadi pada kelompok dengan pemberian HES dan balans cairan positif intraoperatif menurun pada kelompok ini. Peneliti menyimpulkan bahwa selama bedah mayor resusitasi volume dengan HES dapat memperbaiki aliran darah mikrovaskuler dan oksigenasi dibandingkan dengan hanya dengan pemakaian resimen kristaloid.
Dengan pengukuran pHi dan hemodinamik parameter, Bold dan kawan-kawan meneliti fungsi hati dan regulasi sirkulasi pada pasien trauma (n=28) dan sepsis (n=28) yang diacak menerima resusitasi albumin dan HES. Konsentrasi plasma terhadap vasopresin, endothelin-1, adrenalin (epinefrin), noradrenalin (norepinefrin), atrial natriuretik peptida, dan 6-keto-prostaglandin F1α diukur pada hari perawatan intensif (trauma pasien) atau pada pasien sepsis dan pengukuran tiap hari selama 5 hari. Fungsi hati dinilai tiap hari dengan menggunakan monoethyl glycinexylidide test (MEGX). Mean arterial pressure, heart rate, dan tekanan kapiler pulmoner tidak berbeda pada kedua koresponden (trauma/sepsis). Kardiak indeks meningkat secara bermakna pada HES daripada albumin. pHi dan konsentrasi MEGX plasma tidak berbeda pada kedua kelompok pasien trauma, tetapi kedua nilai lebih rendah pada pasien sepsis dan meningkat pada dengan jelas pada penggunaan HES daripada albumin. Pada pasien trauma, konsentrasi semua regulator vasoaktif sama pada pemakaian albumin dan HES. Pada kedua kelompok sepsis, vasopressor (vasopresin, endothelin-1, noradrenalin, dan adrenalin) meningkat diatas garis normal dan menurun secara bermakna pada pemakaian HES daripada albumin. Konsentrasi atrial natriuretik peptida meningkat hanya pada pasien dengan terapi albumin, sementara konsentrasi 6-keto-prostaglandin F1 menurun bermakna hanya pada pasien sepsis dengan pemberian HES. Hasil ini menunjukkan bahwa HES lebih efektif sebagai volume ekspander daripada albumin, khususnya pada pasien sepsis.
Younes dan kawan-kawan menelit secara acak pasien trauma dengan hipovolemik hemoragik dengan HES(n=12) atau salin isotonik (n=11). Cairan diberikan 250 ml bolus ampai tekanan sistolik >100 mmHg. Karena rata-rata kematian sama pada kedua kelompok , pemberian cairan yang kurang dibutuhkan pada pasien yang diberikan HES, dimana retensi vaskular lebih baik pada HES dibandingkan dengan salin.
Dengan studi prospektif acak, peneliti membandingkan resusitasi dengan HES (10 % Pentaspan)(n=20) atau gelatin (n=21) pada 24 jam pertama pada pasien trauma tumpul. Permeabilitas kapiler dinilai dengan menilai kecepatan rata-rata ekskresi albumin urin setiap 6 jam , dimana pada kelompok HES terjadi penurunan ½ selama 8-12 jam . Setelah 48 jam rasio rata-rata pO2/FiO2 lebih tinggi pada kelompok HES dan serum C reactive protein lebih rendah.Tidak ada perbedaan bermakna pada faktor koagulasi selama 5 hari. Penelitian yang lain terhadap pasien yang menjalani repair aneurisma aorta abdominal, secara acak menerima HAES atau gelatin selama 24 jam , menunjukkan penurunan yang sama permeabilitas kapiler sistemik perioperatif, komplians paru meningkat, dan rasio pO2/FiO2 dan tingginya pHi yang menunjukkan kurangnya iskemik splanikus. Kelompok HES juga menunjukkan rendahnya dalam sirkulasi postoperatif konsentrasi interleukin 6, C reaktif protein dan von Willebrand endothelial dalam sirkulasi, menunjukkan adanya efek proteksi endothelial vaskular dan anti inflamasi pada pasien diterapi HES. Konsentrasi kreatinin serum juga rendah pada pasien diterapi ES. Pada studi acak dengan terapi HES pada pasien trauma (n=15) atau 20 % pasien dengan terapi albumin (n=15) untuk terapi volume, konsentrasi sELAM plasma ( Endothelial Leucosyte adhesion molecul), sICAM ( intercellular adhesion molecule-1), vascular cell adhesion molecule-1 (sVCAM-1), and granule membrane protein 140 (sGMP-140) lebih renda pada kelompok HES selama 5 hari. Studi ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan albumin, gelatin, atau resimen kristaloid, resusitasi dengan HES dengan berat molekul sedang mengurangi kebocoran kapiler postrauma, memperbaiki pertukaran gas pulmoner, dan mengurangi iskemik splanikus dan mempunyai efek antiinflamasi.
Ekspansi volume dengan hetastarches dengan berat molekul tinggi menyebabkan koagulopathy. Dua studi yang membandingkan HES dengan berat molekul sedang dengan gelatin untuk resusitasi trauma atau selama opeasi orthopedi menunjukkan tidak ada perbedaan hasil pemeriksaan laboratorium marker koagulasi. Dengan memperhatikan kekurangan yang dimiliki sediaan koloid, sangat berbahaya menggunakan HES tanpa input cairan yang cukup, dimana penggunaan HES sebagai komponen utama infus cairan mempunyai resiko dehidrasi sellular, dan dilaporkan kerusakan fungsi ginjal oleh karena nephrosis osmotik. Larutan HES merupakan larutan efektif sebagai volume ekspander tetapi tidak menyebabkan pembentukan urine. Kegagalan memberikan input air bebas dapat merusak ginjal. Menurut penelitian menunjukkan Larutan HES lebih mwnguntungkan daripada koloid lain, HES hanya diberikan 1/3 dari total volume cairan yang diberikan per infus. Studi tambahan dibutuhkan untuk mencari mekanisme HES yang mana yang mempunyai efek antiinflamasi, proteksi mikrovaskularisasi selama keadaan inflamasi akut seperti trauma dan sepsis. Namun, sudah ada bukti yang cukup dari studi klinis untuk menggambarkan anjuran praktis mengoptimalkan resimen resusitasi dan resimen post-resusitasi cairan.
RESUSITASI
Pembatasan input natrium, klorida, dan cairan dengan pemberian dalam jumlah sedikit HES berat molekul sedang sebagai resimen resusitasi. Ekspansi volume dengan HES mengurangi loading cairan dan natrium dibandingkan dengan gelatin, 4,5% albumin, atau hanya dengan kristaloid. Rekomendasi ini sesuai dengan guidelines ATLS dimana 2 liter larutan Hartmann yang dihangatkan diberikan pada resusitasi cairan segera, tetapi dari semua cairan yang diberikan 1/3nya dari cairan infus dengan HES berat molekul sedang. Penggunaan larutan hipertonik pada trauma kepala mungkin memberi keuntungan, tetapi tidak digunakan sebagai terapi tunggal. Penggunaan larutan hipertonik sejak dini penanganan hipovolemik tetap menguntungkan, dan efek modulasi immun tergantung waktu pemberian setelah cedera.
SETELAH RESUSITASI
• Mencapai balans cairan dan natrium negatif, ketika stabilitas hemodinamik telah baik dan respon inflamasi telah hilang, terjadi mobilisasi cairan dan natrium dari loading cairan resusitasi. Hal ini khas terjadi pada 2 sampai 5 hari post trauma atau kasus operasi tanpa komplikasi.
• Mengawasi balans cairan dan natrium setiap 24 jam. Dengan memperhitungkan 800 ml insensible losses perhari dan peningkatan 200 ml setiap 1 o C diatas 37°C ( terutama pasien luka bakar)
• Memberikan maintenans air untuk urine untuk mengganti insensible losses, seluruhnya atau kombinasi dengan dextrose 5 % intravena.
• Monitor volume urine, natrium, kalium, dan ekskresi urea tiap hari sampai terapi intravena tidak dibutuhkan. Jika osmolalitas urine meningkat diatas 500 mosm/l, natrium urine turun dibawah 50 mmol/24 jam disertai peningkatan konsentrasi natrium dan urea serum menunjukkan peningkatan input cairan bebas.
• Jika balans negatif natrium dan air sulit dicapai, dipertimbangkan menggunakan diuretik.
Mengingat konsentrasi natrium dan kalium serum tidak menggambarkan keadaan total tubuh, sangat penting membandingkan input cairan dengan ekskresi elektrolit dan urea.
TANDA OVERLOAD CAIRAN PADA KORBAN TRAUMA
Balans cairan positif yang memanjang
Volume darah normal pada laki-laki dewasa sekitar 5 liter, dimana volume plasma sekitar 2,8 liter. Setelah koreksi perkiraan kehilanghan darah dan insensible losse, 24 jam pasien post resusitasi memperlihatkan adanya balans positif cairan sekitar 4 sampai 6 liter cairan . Hal ini disebabkan oleh trauma yag menginduksi permeabilitas kapiler sistemik yang mengakibatkan pergerakan cairan dari vaskular ke ruang interstisial. Cairan yang berlebih ini harus dikeluarkan pada hari ke 2 sampai 5 setelah respon inflamasi telah hilang dan fungsi mikrovaskular kembali normal. Balans cairan positif yang meningkat dan memanjang menunjukkan overload cairan memburuk: ini karena mungkin iatrogenik dan dapat dihindari atau disebabkan oleh kebocoran kapiler yang terus-menerus pada SIRS disertai dengan menurunnya resistensi vaskuler sistemik.
Pulmonary wedge pressure
Tekanan pulmoner
Keadaan seperti timbulnya tamponade jantung, kegagalan ventrikel kiri, stenosis katup mitral atau perikarditis, tekanan pulmonal tinggi menunjukkan overload cairan(NB koreksi sebaiknya dilakukan dengan PEEP (Positive End Expiratory Pressure).

Stroke volume jantung
Efek pemberian 200 ml hydroxethyl starch bolus pada stroke volume jantung yang diukur dengan Doppler esofageal dapat digunakan untuk meningkatkan pre-loaddan pada operasi jantng dan orthopedi menunjukkan perbaikan. Kegagalan ekspansi cairan vaskuler meningkatkan stroke volume menunjukkan ekspansi yang berlebihan dan harus dibatasi penambahan kompartemen vaskuler.
Peningkatan berat badan
Adanya bed pengukuran berat badan dengan alat monitor yang dapat dibaca, berat badan dapat digunakan untuk menaksir balans cairan. Hal ini terutama pada pasien luka bakar dengan insensible losses yang tidak dapat diukur.
Kesimpulan
Cedera menyebabkan respon langsung patofisiologis untuk mempertahankan suplai darah ke organ penting, namun hal ini disertai dengan retensi natrium dan air. Respon terhadap cedera dan infeksi juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sistemik terhadap protein dan cairan, dimana hal ini diluar kendali awal timbulnya SIRS dan menyebabkan overload air dan garam saerta edema interstisial. Walaupun loading natrium, klorida, dan air merupakan penanganan yang tidak dapat dihindari pada keadaan akut, namun efek yang merusak dari garam dan air yang berlebih setelah pemberian dapat dibatasi. Strateginya termasuk memberikan HES dengan berat molekul sedang yang dikombinasikan dengan larutan Hartmann untuk resusitasi, penilaian penggantian volume yang adequat dengan memonitor hemodinamik dan klinis pasien dan menghindari infus cairan yang mengandung garam. Target post resusitasi adalah tidak terdapatnya kelebihan garam dan air dalam ruang interstisial segera setelah respon inflamasi hilang dan kebocoran kapiler kembali normal dan hemodinamik stabil. Selama recovery, perlu diperhatikan persediaan cairan bebas dalam mempertahankan output urine yang cukup untuk ekskresi natrium yang berlebih saat resusitasi dan juga peningkatan ekskresi nitrogen karena trauma, bedah mayor, atau sepsis.